SEMARANG, INDONESIAPUBLISHER.COM – Hasil wawancara Media Online Nasional indonesiapublisher.com dengan Dr.Widhi Handoko,SH,SpN, Ketua Pengwil Jateng INI, sekaligus seorang dosen di STIK PTIK Polri, Dosen Unissula dan Undip Semarang. Saat kami wawancara selepas menerima Salinan Relaas Keputusan Kasasi No. 72/Pod.B/2020/PN Pkl. Melalui Dion S. Marhaendra, SH., M.H. Law Office & Legal Consultant “DION S MARHAENDRA & PARTNERS” Advokad dan Konsultan Hukum, yang ditunjuk dan diberi tugas Pengwil Jateng INI untuk menangani dan mengawal, sebagai kuasa hukum dari H. Bachtiar SH SpN (anggota Notaris PPAT) yang mendapat pembelaan dan perlindungan dari Pengwil Jateng INI.
Bagaimana yang saudara rasakan, selepas saudara menerima salinan relaas kasasi yang memenangkan anggota yang saudra bela mati matian itu? Lalu bagaimana konstruksi hukum tindak pidana yang sering didakwakan pada Notaris PPAT tersebut? Dan bagaimana konstruksi hukum perlindungan terhadap Notaris PPAT dalam menjalankan tugas jabatan publik dan negara serta profesi?
Dari berbagai pertanyaan yang saya sapmpaikan tersebut Widhi menjelaskan dan justru balik bertanya Sejak kapan pejabat yang menjalankan kewajiban atau mengemban perintah UU dapat dituduhkan pasal-pasal pemberian keterangan Palsu (263, 264, 266 dan 55 (ayat 1) ? Dengan dalil menuangkan keterangan palsu dan turut serta atau menyuruh menuangkan keterangan palsu dalam aktanya. Ini jelas melampoi batas-batas logika berpikir hukum. Mana mungkin hukum dibangun hanya berdasarkan narasi dan argumen mentah “tidak mendasar” kemudian dipaksakan.?!! Dengan nada penjelasan yang sedikit keras Widhi memberi statemen tersebut. Rupanya masih terbawa nada emosi dan tidak terima saat anggotanya di penjara 2 bulan dan dibelanya hingga putusan bebas demi hukum.
Setelah membuka dengan pertanyaan balik Widhi kemudian memberikan argumen dengan menjelaskan bahwa dalam penegakan hukum fakta yang kita dapati sering penegakan hukum dibangun berdasarkan narasi-narasi *un-logic* pada hal hukum itu semestinya juga *law is logic* hukum harus mampu dinalar dengan nalar akal sehat ? Misal untuk apa seorang notaris menyuruh memasukan keterangan palsu dalam sebuah akta? apa kepentingannya? seberapa untungnya? bagaimana pembuktian si Notaris menikmati kejahatannya? Mari kita buka lagi Pasal 36 dan 37 UU No 30 Tahun 2004 yang diperbaharui dengan UU No 2 Tahun 2014 tentang Jabatan Notaris. Coba baca dengan seksama apakah Notaris melanggar ketentuan biaya yang ditetapkan oleh UUJN tersebut..?!
Dalam satu tahun kepemimpinan Widhi Handoko sebagai ketua Pengwil Jateng INi, fakta telah terjadi lebih dari 70 kasus yang Pengwil Jateng INI tangani dari berbagai kasus Notaris PPAT (90% sebenarnya adalah kasus PPAT). Dari sekian kasus dapat ditangani Pengwil Jateng INI dengan baik dan berhasil, selama ini 100% dapat ditangani dengan model intervensi organisasi dalam pihak perkara. Salah satu kasus yang menimpa anggotanya tersebut dan dalam pembelaannya Pengwil Jateng INI, telah memenangkannya ditingkat Kasasi secara utuh (mutlak).
Dari sekian kasus yang menimpa anggota Notaris PPAT di Jawa Tengah, telah dilakukan perlawanan secara hukum oleh Pengwil Jateng INI dengan tujuan untuk mengembalikan marwah organisasi yaitu tegaknya harlat, martabat dan kehormatan Notaris PPAT. Pengwil jateng INI tidak segan melakukan konter balik dengan menggugat dan mengadukan pihak-pihak yang melaporkan dan atau menjadikan Notaris PPAT sebagai turut tergugat. Saat ini ada 4 kasus yang dilaporkan balik oleh Pengwil Jateng INI, dari 4 kasus tersebut 2 kasus pada akhirnya dicabut oleh pelapor dan telah meminta maaf terhadap Notaris PPAT ybs. Selebihnya 2 kasus sedang dilaporkan ke Polda Jateng dan sedang ditangani dalam proses penyelidikan hukum. Bagi para pihak yang melaporkan Notaris PPAT di Jateng, saat ini harus berpikir ulang beribu ribu kali, jika sembarangan melaporkan Notaris PPAT di Jateng dipastikan akan digugat balik oleh Organisasi Pengwil Jateng INI yang menaungi anggotanya secara berani dan tegas.
Sebagai ketua Pengwil Jateng INI rupanya Widhi Handoko bertekad akan melawan setiap kriminalisasi dan mengkambing hitamkan Notaris PPAT dalam menjalankan tugas jabatannya. Dalam wawancara ketika Widhi menerima putusan Kasasi atas nama Bachtiar, Notaris PPAT Pekalongan, yang menang mutlak atas keputusan Kasasinya. Widhi menjelaskan bahwa kriminalisasi Notaris dapat diterjemahkan sebagai bentuk “Pemenjahatan” atau kriminalisasi (criminalization) dalam ilmu kriminologi adalah sebuah proses saat terdapat sebuah perubahan perilaku individu-individu yang cenderung untuk menjadi pelaku kejahatan dan menjadi penjahat. Kriminalisasi berasal dari kata kriminal, artinya jahat.
Kriminalisasi membuat suatu proses yang tadinya tidak jahat menjadi jahat dan bisa dihukum pidana. Lebih lanjut Widhi menegaskan tidaklah mungkin Notaris PPAT dalam menjalankan tugas jabatannya merubah (berniat) dalam sebuah kejahatan. Jikaulaupun terdapat tuduhan atas hal itu, sangatlah kecil kemungkinannya. Hanyalah karakter pembawaan yang dapat merubah jabtan yang dipangkunya menjadi sebuah tindakan kejahatan yang disengaja. Rata-rata keteledoran Notaris PPAT hanya pada batasan kode etik dan administrasi.
Jika hal tersebut menimbulkan kerugian perdata maka sesungguhnya telah diatur dalam Pasal 1243 KUH Perdata memberikan ketentuan bahwa pihak yang lalai untuk memenuhi suatu perikatan maka dapat dituntut oleh pihak yang merasa dirugikan atas tidak dipenuhinya prestasi dalam perikatan tersebut, tuntutan tersebut antara lain; ganti rugi berupa penggantian biaya-biaya dan kerugian yang diderita serta keuntungan yang seharusnya diperoleh. Notaris sebagai pihak yang diwajibkan oleh ketentuan Pasal 16 ayat (1) huruf j, Pasal 38, Pasal 39, Pasal 40, Pasal 42 dan Pasal 43 UUJN dapat dikatakan sebagai subyek hukum yang wajib melaksanakan prestasi. Prestasi yang harus dipenuhi oleh Notaris adalah membuat akta autentik berdasar ketentuan UUJN, dan subyek hukum yang berhak atas akibat baik/keuntungan dari dilaksanakannya prestasi tersebut adalah pihak yang menghadap kepada Notaris (klien Notaris). Apabila pihak yang menghadap kepada Notaris merasa dirugikan karena Notaris tidak melaksanakan kewajibannya sesuai dengan ketentuan di dalam UUJN, maka penghadap dapat menuntut kepada Notaris berupa penggantian biaya- biaya yang telah dikeluarkan, ganti kerugian dan bunga atau keuntungan yang seharusnya diperoleh. Tanggung jawab Notaris yang demikian itu disebut dengan tanggung jawab perdata.
Kemudian Widhi menegaskan janganlah main seenak udelnya sendiri kasus-kasus keteledoran atau kesengajaan pada pelanggaran kode etik atau administrasi tersebut selalu dibawa pada ranah pidana. Lebih lanjut Widhi mengatakan “saya sebagai pemimpin yang dipercaya anggota Notaris PPAT, tidak akan rela jika anggota saya dikriminalisasi atau dikambing hitamkan, pada kasus-kasus yang sesungguhnya merupakan kasus kecurangan atau kejahatan yang dilakukan dan diniati oleh para pihak dalam akta otentik tsb” saya tegaskan bahwa pertanggungjawaban Notaris PPAT itu bersifat formil bukan materiil. Karena materiil dalam akta otentik merupakan kehendak para pihak sendiri. Notaris PPAT hanyalah mencatatkan kehendak para pihak tidak lebih dna tidak kurang, karena semua sudah diatur prosedur dan persyaratannya oleh peraturan perundang-undangan terkait.
Widhi menegaskan lebeih kanjut bahwa siapa saja mengadukan perbuatan Notaris ke polisi atau penegak hukum lainnya (Pasal 322 ayat (2) KUHP). Delik/pidana yang terdapat pada Pasal 322 ayat (1) berdasar ketentuan Pasal 322 ayat (2) merupakan delik aduan, jadi hanya dengan adanya pengaduan dari pihak yang bersangkutan, Notaris dapat dikenai sanksi pidana. Tanggung jawab pidana lainnya juga memungkinkan untuk diberikan kepada Notaris apabila perbuatan Notaris memenuhi unsur- unsur perbuatan pidana yang diatur di dalam KUHP. *Namun ingat jangan sekali kali bermain main hukum dengan Notaris-PPAT Pengwil Jateng,* karena jika anggota kami telah menjalankan tugas jabatannya sesuai peraturan perundangan undangan yang berlaku lalu dikambinghitamkan atau bahkan dikriminalisasi maka saya atas nama organisasi Pengwil Jateng INI tidak akan segan-segan dan tidak ada ampun akan mengadukan balik pihak-pihak tersebut.
Begitulah penjelasan Widhi yang saat ini getol melakukan gugatan balik terhadap pihak-pihak yang melaporkan Notaris PPAT dalam pusaran kasus kriminalisasi. Widhi ingin membuktikan visi misinya mengembalikan marwah organisasi. Widhi mengatakan bahwa Seorang pemimpin harus memiliki konsep filosofi “Great leadership usually starts with a willing heart, a positive attitude, and a desire to make a difference.” (Mac Anderson)
Kepemimpinan yang hebat biasanya dimulai dengan kesediaan hati, sikap positif, dan keinginan untuk membuat perbedaan yaitu perubahan dari yang lalu baik menjadi lebih baik, atau jika yang lalu kurang baik harus dirubah menjadi baik.
Pemimpin harus menghadirkan hatinya dalam rasa *handarbeni* memiliki organisasi dan menghadirkan hati nuraninya untuk pengabdian pada organisasi dan visi misi organisasi, harus mengembalikan marwah mulia organisasi yaitu harkat, martabat dan kehormatan Notaris, harus mampu membela para anggotanya yanh dikriminalisasi dan dikambing hitamkan, demi menjaga marwah mulia tsb.
Lebih lanjut Widhi menjelaskan bahwa pemahaman alat bukti akta otentik, untuk memberi pemahaman dan penegasan yang realistis atas terjadinya banyak kasus yang menimpa rekan notaris khususnya di Jawa Tengah. Menurut Widhi seorang Notaris PPAT jangan hanya mampu copy paste akta, tetapi sesungguhnya Notaris PPAT itu penting memahami apa itu alat bukti.
Ditegaskan oleh Widhi bahwa Alat-alat bukti yang sah menurut hukum acara perdata sebagaimana diatur dalam pasal 164 HIR/284 RBG, yaitu : (1) surat-surat, (2) saksi-saksi, (3) pengakuan, (4) sumpah, (5) persangkaan hakim.
Pada prinsipnya dalam persidangan perkara perdata hakim cukup membuktikan dengan preponderance of evidence (memutus berdasarkan bukti yang cukup).
Alat-alat bukti yang cukup tersebut tentunya memiliki beberapa kualifikasi agar memiliki kekuatan pembuktian yang sempurna dan mengikat.
Alat bukti surat dikategorikan sebagai alat bukti tertulis, surat dibagi menjadi dua macam : akta dan surat-surat lain yang bukan akta. Akta dibedakan menjadi : akta otentik dan akta dibawah tangan.
Fungsi akta secara formil (formalitas causa) merupakan pengakuan yuridis atas perbuatan hukum serta sebagai alat bukti (probationis causa) adalah untuk pembuktian di kemudian hari dan sebagai alat bukti. Kekuatan pembuktian akta meliputi : kekuatan pembuktian lahir yakni kekuatan pembuktian yang didasarkan pada bentuk fisik/lahiriah sebuah maka memiliki kekuatan sebagai akta sepanjang tidak terbukti sebaliknya, bagi yang menyangkal harus dapat membuktikan sebaliknya.
Kekuatan pembuktian formil menyangkut benar tidaknya pernyataan oleh orang yang bertanda tangan di dalam akta tersebut, kekuatan pembuktian formil ini memberi kepastian tentang peristiwa mengenai pejabat dan para pihak benar menyatakan dan melakukan apa yang dimuat dalam sebuah akta.
Kekuatan pembuktian materiil memberikan kepastian tentang peristiwa mengenai pejabat atau para pihak menyatakan dan melakukan seperti yang dimuat dalam akta sehingga memberikan kepastian tentang materi suatu akta.
Akta otentik adalah akta yang dibuat oleh pejabat yang diberi wewenang oleh undang-undang. Akta tersebut memuat keterangan seorang pejabat yang menerangkan apa yang dilakukan dan dilihat dihadapannya (pasal 165 HIR/285 RBG).
Akta otentik dibagi menjadi dua macam yakni : akta yang dibuat oleh pejabat (ambtlijke acta) dan akta yang dibuat oleh para pihak (partij acta).
Akta yang pejabat merupakan akta yang dibuat oleh pejabat yang diberi wewenang untuk hal tersebut. Akta ini tidak mempunyai kekuatan pembuktian materiil, kecuali : akta yang dikeluarkan oleh catatan sipil sepanjang isinya sesuai dengan daftar aslinya dan salinan dari daftar aslinya, selain itu hanya memiliki kekuatan pembuktian formil.
HIR dan RBG hanya mengatur partij acta dan tidak mengatur ambtlijke acta. Partij acta merupakan akta yang dibuat dihadapan pejabat yang diberi wewenang untuk itu, dan pejabat tersebut menerangkan juga atas yang dilihat serta dilakukannya. Akta ini dibuat oleh pejabat atas permintaan pihak yang berkepentingan. Partij acta memiliki kekuatan pembuktian materiil bagi kepentingan dan terhadap pihak ketiga. Kekuatan pembuktian materiilnya diserahkan kepada pertimbangan hakim. Apabila hakim menerima akta tersebut, maka tidak perlu bukti tambahan lagi.
Satu akta otentik yang diajukan pihak sebagai alat bukti sudah cukup bagi hakim untuk menyatakan gugatannya terbukti atau sangkalannya terbukti dan tidak diperlukan membebankan pihak untuk menambah alat-alat bukti lain untuk mendukung dalil gugatan atau dalil bantahannya (baca asas volledig brindinde).
Nilai kekuatan pembuktian akta otentik adalah sempurna dan mengikat (vide pasal 165 HIR/pasal 285 RBG), artinya memiliki kekuatan pembuktian lahiriah, formil dan materiil terhadap pihak ketiga, kecuali : pihak lawan dapat membuktikan akta otentik tersebut tidak benar, jika pihak lawan tidak dapat membuktikan ketidakbenaran akta tersebut, maka hakim tidak boleh menolak akta tersebut, jika pihak lawan dapat membuktikan ketidakbenaran akta otentik tersebut, maka nilai otentiknya jatuh menjadi alat bukti permulaan.
Sehingga apabila akta otentik nilainya jatuh menjadi alat bukti permulaan maka : akta tersebut harus didukung oleh suatu alat bukti lain sehingga nilainya menjadi otentik kembali, hakim dapat menganulir/menganggap akta tersebut sebagai alat bukti bebas, yang kekuatan pembuktiannya terserah kepada penilaian hakim. Pihak lawan dapat menyangkal otentisitas akta tersebut berdasarkan ketentuan pasal 164 HIR/284 RBG melalui alat bukti surat, saksi, persangkaan, pengakuan atau sumpah.
Apabila akta otentik disangkal kebenarannya maka pembuktiannya dibebankan kepada pihak yang menyangkal. Sedangkan pada akta dibawah tangan jika disangkal kebenarannya maka pembuktiannya dibebankan kepada pemegang akta.
Salinan (foto copy) surat saja tanpa menunjukkan aslinya tidak memiliki kekuatan pembuktian (pasal 1888 KUHPerdata.
Wawancara akan bersambung masih pada tema perlindungan hukum bagi Notaris PPAT oleh Pengwil Jateng INI. (red)