SEMARANG,INDONESIAPUBLISHER – Dalam rekaman wawancara indonesiapublisher.com dengan Widhi Handoko Ketua Pengwil Jawa Tengah INI baru-baru ini di Semarang, masih membahas tentang marwah organisasi. Pada acara rapat dan bukber Pengurus Harian Pengwil Jateng INI. Jum’at tanggal 23 April 2021 lalu, dikediaman Widhi. Banyak yang baru tahu jika ketua pengwil jateng adalah ustadz yang mahir dalam kajian qur’an dan mahir bahasa arab (info dari peserta pengajian mereka kagum ternyata ketua pengwil jateng INI mahir bahasa arab dan tafsir qur’an).
Salah satu peserta yang tidak mau disebutkan namanya mengatakan “Sungguh baru kali ini saya kagum dan takjub memiliki ketua pengwil yang begitu pandai, saya tidak menyangka beliau ternyata orang yang sangat religius, saya tidak menyangka mas, saya sampai termangu mendengar kajiannya tentang keadilan dan tugas Notaris yang dikutip dan dijelaskan ketua pengwil dari berbagai perspektif (kitab samawi tidak hanya qur’an). Saya baru tahu beliau, jauh betul dari penampilannya yang tidak terlihat sebagai seorang ustadz. Selama ini bahkan beliau sering diisukan negatif dan faktanya 180 drajad berbalik.
Yang spesiall dari karakter Widhi adalah visioner dan selalu ada istilah-istilah yang to the point serta menukik tajam dalam kritikan yang blak-blakan. Kata Widhi penting kiranya seorang akademisi dan praktisi memiliki sense of kritis, dia bilang to explore, to critize and to understand.
Dalam rekaman wawancara tersebut Widhi menjelaskan bahwa banyak anggota yang dikriminalisasi dan dikambing hitamkan oleh keadaan. Seakan semua kasus selalu dibawa dalam ranah pidana. 99% kelalian anggota ada pada kesalahan administrasi dan kode etik. Namun sayang organisasi yang menanungi tidak berbuat apa-apa (tega melakukan pembiaran), banyak bicara tanpa fakta dan hanya pandai dalam pencitraan. Semestinya kita harus menggagas konsep yang lebih baik dan adil. Harus duduk bersama dengan kemampuan intelektual kita semestinya kita dapat mengatasinya.
Widhi menjelaskan bahwa Pencitraan dalam arti bahasa belanda disebut in beeld brengen (pengimajinasian) atau khayalan atau imajinasi (dalam bahasa Inggris disebut imaging). Pencitraan merupakan proses untuk membentuk gambaran pribadi seseorang atau suatu kelompok adalah baik atau buruk. Pencitraan lebih didominasi dan merupakan istilah dalam politik. Ada dua jenis pencitraan: pencitraan positif dan pencitraan negatif.
Kata Widhi, sesungguhnya Pencitraan yang semula didominasi dalam kancah politik, saat ini telah merambah ke organisasi sosial maupun perkumpulan. Kata Widhi “Saya sangat prihatin atas hal tersebut.” Apalagi jika semua pencitraan semu tersebut telah membuat perpecahan dan disharmonisasi antar anggota.
Kata Widhi; Jika dalam politik masih wajar, manakala para elitenya harus berebut kursi kepemimpinan. Organisasi politik akan selalu menghadirkan kekuasaan nyata dalam sebuah negara atau pemerintahan. Tujuan utama dalam politik adalah perebutan kursi kekuasaan, sehingga tidak sekedar butuh kompetensi (knowledge, skill and attitude) akan tetapi juga dibutuhkan modal yang tidak sedikit.
Namun ada suatu hal yang aneh, ketika kita mendapati organisasi sosial atau perkumpulan, kepemimpinannya telah diperebutkan dengan berbagai cara khayalan dan imanjinasi (pencitraan). Bahkan sampai tega saling menjustifikasi (melontarkan fitnah dan pencitraan negatif pada calon lainnya). Yang tidak kalah menyedihkan adalah kita perebutan kepemimpinan tersebut seakan harga mati (yang mempertaruhkan segala galanya). Sungguh ironis ketika pertaruhan tersebut diseret ke disharmonisasi anggota (membenturkan pendukung dari masing-masing calon secara tidak dewasa). Kemudian menimbulkan gap (kesenjangan) di antara hubungan baik dari para anggotanya. Yang tidak sejalan dengan pilihannya dipandang sebagai musuh (ini tindakan ketidak dewasaan atau kekanak-kanakan) karena tidak mampu menerima qodrat Illahiyah hasanah perbedaan itu sendiri.
Lebih lanjut Widhi menjelaskan dan memberi kritikan bahwa Kebanyakan dari mereka yang ambisi prinadi menjadi ketua sebenarnya hanya sekedar untuk pamer pengaruh “adol bagus dan gembagus” atau “adol ayu dan kemayu”. Prestasi yang ditorehkan adalan baksos dan foto selfi. Ini adalah sebuah fakta yang tidak dapat dipungkiri. Merkea jauh panggang dari apinya. Dalam filosofi yang sering disampaikan oleh Prof. Dr. Sadjipto Rahardjo “Sejatine ora ono opo-opo, sing ono dudu” kata Widhi menafsirkan “seperti balon merah kuning hijau dilangit yang biru atau seperti pelangi mejikubhibiniu” balon itu hanya isi angin dan pelangi itu hanya pantulan warna cahaya matahari yang berupa difraksi cahaya atau kita sebut dengan istilah fatamurgana.
Widhi menjelaskan keprihatinannya, jika kita belajar dari berbagai problem organisasi di Indonesia pada khususnya, dan secara International di negara-negara berkembang pada umumnya, sesungguhnya kebanyakan dari mereka yaitu orang-orang yang ambisi menjadi pemimpin, baik dalam ranah politik maupun ranah organisasi sosial perkumpulan, dapat diamati bahwa “mereka tipe-tipe orang yang tidak malu (tidak tahu diri) dengan kemampuan kompetensi mereka.” Khususnya pengetahuan dan karakter pribadi yang tidak memenuhi separo (1/2) dari standar kompetensi seorang pemimpin. Khususnya jika kita bicara organisasi sosial dan perkumpulan, maka untuk dan atas nama organisasi mestinya mereka dapat menjaga dan melindungi kepentingan anggotanya sekaligus mengembalikan marwah organisasi (harkat, martabat dan kehormatan organisasi dan anggotanya).
Kokoh dan majunya organisasi sebenarnya semua itu, ada ditangan para anggotanya. Kelemahannya yaitu ketika para anggota tidak mengambil bagian yang sama dalam berhikmat (mengambil hak dan menunaikan kewajibannya) di dalam organisasi. Justru ada beberapa anggota memanfaatkan moment tersebut sebagai maklar jual beli suara (orangnya ya itu itu saja), kita paham kok karakter-karakternya. Mereka itu sesungguhnya mempengaruhi pada anggota yang masih baru, yang belum berpengalaman dalam organisasi, dengan cara iming-iming duit gratisan dll. Sesungguhnya mereka itu hanya dengan modal menjual visi misi sebagai bualan belaka. Sekaligus mereka biasanya akan banyak melakukan pencitraan (khayalan dan imajinasi) yang terbalut dalam kebohongan.
Jika ada cara-cara yang seperti itu, kita kata Gus Bahah “harus dilawan dan dicarikan calon pemimpin yang mempunyai kompetensi dan integritas tinggi tetapi juga memiliki modal yang lebih dengan tujuan menggalkan si ambisius merusak organisasi” kata Gus Bahah sifatnya boleh bahkan wajib bagi yang mampu melawan, dengan catatan niatnya menyelamatkan dari akal muslihat si ambisius demi kebiakan, kemanfaat atau kemaslahatan umat, atau dalam organisasi kemaslahatan anggota.
Anggota semestinya sadar bahwa rumah besar organisasi adalah rumah kita bersama dan merupakan tempat berteduh yang harus dibuat senyaman mungkin (kedewasaan yang penuh dengan harmonisasi dan kekeluargaan). Yang harus dibuat sekuat mungkin sehingga mampu melindungi dari terik dan sengatan matahari serta binatang buas (kriminalisasi dan kambing hitam yang bersifat liar). Widhi menegaskan harus dapat membentengi anggota dari harimau pemangsa. Bagi harimau dan seigala akan senang jika melihat kelompok domba atau kelinci gemuk yang menggoda untuk dimangsanya.
Anggota jika ingin mengembalikan marwah organisasi kata Widhi Kuncinya pertama yaitu menjaga profesional, integritas dan tidak melacurkan suaranya dalam menentukan pemimpinnya. Jika mau menerima upah maka terima saja upahnya tetapi tetap memilih untuk pemimpin yang berintegritas sesuai kompetensi yang dibutuhkan dan terbukti memperhatikan anggota. Syukur ada calon pemimpin yang berintegritas mau berinfaq shodaqoh pada anggotanya untuk membendung tipu muslihat si ambisius.
Yang kedua anggota sebaiknya tidak pula boleh berspekulasi terhadap orang-orang yang belum mempunyai kompetensi nyata. Yang ketiga tidak pula memilih orang-orang lama yang belepotan dosa organisasi (berbuat curang, tidak jujur dan tidak transparan, menggunakan uang organisasi untuk berpoya poya dan menghambur- hamburkan dalam kesenengan sesat, bahkan tega makan dan merampok terangan-terangan uang organisasi). Praktik seperti itu harus diakhiri, caranya hentikan keterlibatan orang-orang culas dan kroni-kroninya dalam organisasi. Masa lalu sudah cukup sebagai bukti dari sebuah tindakan tidak terpuji yang nyata dan perlu ditinggalkan.
Bersambung pada awawancara berikutnya.(red)