Keluarga Stefanus Artanto,SH tengah menggelar acara Mitoni (nujuh bulanan) bertempat di kediamannya Pendopo Tjipta Wening,Kawasan Kota Muntilan,Kabupaten Magelang, Jawa Tengah baru- baru ini
MAGELANG(indonesiapublisher.com) – Perlu kearifan lokal dalam sikap inklusif,terbuka dan menerima perbedaan meski tetap utuh dalam mengimani agama yang sudah diyakini.
Keanekaragam umbo rampé jadi bukti bahwa Indonesia (Jawa) punya pendalaman bathin dan adat berharga dalam cara pandang terhadap fakta kehidupan.
Menghidupkan kembali adat Mitoni (tujuh bulanan) sebagai tradisi adiluhung yang selama ini hampir dilupakan. Banyak simbol-simbol sebagai doa dan harapan yang terkandung dalam upacara unik bernuansa Jawa tersebut.
Pada edisi kali ini, indonesiapublisher.com mencoba mengulik dari dekat dan berkesempatan bertandang ke kediaman salah seorang Notaris- PPAT senior diJawa Tengah dan Daerah Istimewa Yogyakarta, yakni Stefanus Artanto, SH baru- baru ini di Pendopo Tjipta Wening yang asri dan sejuk di kawasan Muntilan,Kabupaten Magelang.
Stefanus Artanto meski dia seorang penganut Katholik yang taat, tapi dia juga cinta akan tradisi budaya Jawa, walaupun beliau seorang keturunan Tionghoa yang dikenal sudah sangat ‘ Njawani” (mencintai & memiliki nilai- nilai budaya Jawa). Dan untuk itu dilaksanakan acara Mitoni di keluarganya baru- baru ini. Tentu ini sangat unik, karena ini mungkin kali pertama dan satu-satunya di Indonesia.
Romo Mario, Kepala Sekolah Seminari Menengah Mertoyudan tengah memandu jalannya acara Mitoni tersebut.
Romo Mario Kepala Sekolah Seminari Menengah Mertoyudan yang memandu jalannya acara Mitoni tersebut.
Hal tersebut tentu menunjukkan bahwa aspek akulturasi adat budaya & agama tampak beriringan satu sama lain.
Artanto menguraikan, Mitoni merujuk pada istilah untuk menyebutkan salah satu tradisi upacara adat bagi perempuan hamil dalam budaya Jawa. Mitoni merupakan upacara adat siklus hidup, yang masih sering dijumpai di masyarakat Jawa yaitu selamatan saat janin dalam kandungan berusia 7 bulan. Tradisi selamatan hamil 7 bulanan telah ada sejak dahulu di wilayah pulau jawa, dan terdapat pula istilah-istilah yang berbeda dalam menyebut upacara adat ini.
Tradisi Mitoni merupakan sebuah Legacy tradisi Adiluhung yang terus dilestarikan
“Di Jawa Tengah seperti Karesidenan Solo, tujuh bulanan dikenal dengan istilah “mitoni”, sementara di Jawa timur upacara adat 7 bulanan lebih dikenal dengan tradisi “tingkeban”, di Madura disebut dengan “palet kandhungan”, dan tradisi sejenis yang dikenal di Jawa Barat disebut dengan istilah “nujuh-bulan”, ujarnya.
Tradisi mitoni ini dilakukan untuk memohon keselamatan, yang ditujukan kepada calon ibu dan bayinya, serta memanjatkan doa-doa agar proses bersalin berjalan dengan lancar, dan bayi yang dilahirkan menjadi pribadi yang luhur di masa depan.
Terdapat beberapa prosesi utama dalam upacara mitoni, antara lain pertama, siraman pada waktu siang hari karena dipercaya sebagai waktunya para bidadari juga turun dari kayangan untuk mandi. Kedua adalah prosesi brojolan, yaitu memasukan telur kedalam jarik calon ibu, yang diikuti dengan pemotongan tali letrek sebagai simbol membuka jalan lahir. Selanjutnya akan dimasukkan sepasang kelapa gading muda (cengkir gading) ke dalam sarung dari atas perut calon ibu. Setelah itu akan ada prosesi ganti pakaian sebanyak tujuh kali, dimana calon ibu akan dipakaikan kemben atau kain jarik dengan tujuh motif yang berbeda oleh para sesepuh. Barulah setelah semua proses selesai, acara mitoni akan ditutup dengan berjualan rujak dan makan bersama.
“Tradisi ini telah berkembang turun menurun, khususnya di Pulau Jawa. Sebagai masyarakat yang berbudaya dan menghormati nenek moyang, kita sebaiknya melestarikan tradisi tersebut dengan cara menerapkannya dalam kehidupan”, jelas Artanto.
Upacara ini timbul dari kegalauan hati seorang Artanto atas fenomena tercerabutnya akar budaya asli Indonesia tergantikan tradisi yang bukan asli nusantara. Disamping memang mengalir darah Jawa yang berasal dari mbah buyut dari garis ayahnya. (ika/red)