PATI – Ketua Pengurus Daerah Ikatan Pejabat Pembuat Akta Tanah (Pengda IPPAT) Kabupaten Pati, Jawa Tengah, H. Sugianto,SH menilai, berkenaan dengan verfifikasi validasi data di Badan Pendapatan dan Pengelolaan Aset Daerah (DPPKAD) terutama di Kabupaten Pati, untuk menghitung pajak itu pembayarannya berdasarkan BPHTB dan ketentuan nilai pasarnya payung hukumnya hingga kini belum ada, khususnya terkait PTSL, untuk itu masih kita didiskusikan lebih lanjut dengan pihak terkait.
Demikian yang terungkap dalam bincang-bincang indonesiapublisher.com dengan H. Sugianto,SH saat ditemui baru-baru ini di kantornya kawasan Jalan. Dr. Susanto, Kota Pati.
Lebih lanjut pria yang akrab disapa dengan panggilan Pak Gik ini menguraikan, jadi bisa dibilang Alhamdulillah selama ini tetap terjalin harmonisasi dan sinergitas hubungan yang baik, ciamik dan baik antara Pengda IPPAT Kabupaten Pati dengan BPPKAD, BPN setempat maupun Kantor Pajak Pratama (KPP) Pati.
Misalkan sebuah contoh nilai jual beri hari ini, urai dia lagi, seharusnya yang mengajukan itu dari BPPKAD dulu, pajak pembeli harus dibayar dulu BPHTB nya. Apakah bisa aturan semacam ini jika diberlakukan, padahal dalam penilaian ada 25 hari baru dinilai, sementara jual belinya hari ini. Lha ini mungkin kesulitannya dari sisi BPHTB-nya.
Sugianto menuturkan, kuncinya begini, dulu pernah saya umumkan saat Rakelwil Pengwil IPPAT di The Alana hotel Solo kala itu. Yang menentukan harga itu siapa, kan penjual dan pembeli. Notaris-PPAT tinggal mencatat, tapi menurut versinya DPPKAD yang menilai tanah (di Pati-red) lho ya itu BPPKAD. Sekarangpun mungkin tidak di Pati saja, hamper di semua Kota/Kabupaten di Jawa Tengah kabarnya juga seperti itu.
Jika dulu, memang ada Peraturan Bupati tentang penentuan standar zona nilai pasar tanah, tapi sekarang Perbup itu dicabut. Sehingga tidak bisa menghitung pajak sekarang. Bisa menghitung setelah BPPKAD memntukan nilai pasar zona tanah. Lalu berkenaan dengan validasi di KPP Pratama, sekarangkan via by post semua pengirimannya. Menurut saya ini juga masih sulit, kan selama ini umpamanya hari ini tandatangan jual beli baik BPPKAD maupun KPP memberi batasan waktu hanya beberapa hari saja, lha kalau missal wajib pajak besok meningga dunia yang bertanggungjawab lalu siapa. Kan Notaris-PPAT tentu bisa dipersalahkan.
Susahnya lagi untuk validasi di KPP Pratama, apabila pemberi hibah apabila punya NPWP dan tidak memberi laporan tahunan tidak bisa dibebaskan dulu. Padahal ahli waris orang tuanya punya pajak, dia tidak tahu. Padahal sumbang sih Notaris-PPAT untuk kontribusi pencari dana untuk pajak daerah itu besar lho. Namun dalam hal ini kita tidak ada perhatian sedikitpun perhatian dari pemerintah atas jerih payah yang sudah kita lakukan itu. Padahal saat sosialisasi pertamakali dulu di pendopo Kabupaten Pati, berdasarkan Pasal 12 atau 17 dalam Undang-Undang BPHTB kalau tidak salah bahwa PPAT itu sejatinya mendapat upah pungut dari Pemkab atas penarikan pajak yang dia lakukan. Untuk itu, saya itu mau mencari aturan itu tapi belum ketemu. Dan hubungan kita dengan BPN Pati sejauh ini juga berjalan baik dan kondusif, kita sering dilibatkan dalam berbagai kegiatan terkait dengan program-program pertanahan dan keagrariaan. (jay/ars)