Notaris- PPAT Senior di Jawa Tengah dan DIY, Stefanus Artanto, SH
Puluhan warga DIY mendatangi kantor Badan Pertanahan Nasional di Jakarta pada Senin (27/5/2024).( Foto: Istimewa)
Dalam UUPA, mengatur berbagai jenis hak atas tanah, salah satunya adalah Hak Guna Bangunan (HGB). Pasal 35 ayat (1) UUPA menyebutkan bahwa Hak Guna Bangunan adalah hak untuk mendirikan dan mempunyai bangunan di atas tanah yang bukan miliknya sendiri dalam jangka waktu paling lama 30 tahun.
Selanjutnya ayat (2) menegaskan bahwa atas permintaan pemegang hak dan dengan mengingat keperluan serta keadaan bangunan-bangunannya, jangka waktu tersebut di atas dapat diperpanjang dalam waktu paling lama 20 tahun.
Agar peraturan yang mengatur tentang HGB di dalam UUPA tersebut dapat dioperasionalkan maka sebagai derivatif dari UUPA tersebut diatur lebih lanjut dalam bentuk peraturan perundangan yang lebih rendah, yaitu: 1. Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 1996 tentang Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan Dan Hak Pakai Atas Tanah 2. Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional No. 9 Peraturan 1999 tentang Cara Pemberian dan Pembatalan Hak atas Tanah Negara dan Hak Pengelolaan.
Namun setelah kedua peraturan tersebut terbit, ternyata di dalam kedua peraturan perundang-undangan yang berhirarki tersebut tersirat adanya perbedaan bahasa dan makna, yakni Pasal 27 ayat (1) PP No. 40 Tahun 1996 menyebutkan, bahwa permohonan perpanjangan jangka waktu Hak Guna Bangunan diajukan selambatlambatnya dua tahun sebelum berakhirnya jangka waktu Hak Guna Bangunan tersebut, sedangkan menurut Pasal 41 Peraturan Menteri Negara Agraria/ Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 9 Tahun 1999 tentang Tata Cara Pemberian dan Pembatalan Hak Atas Tanah Negara dan Hak Pengelolaan, dinyatakan bahwa permohonan perpanjangan jangka waktu Hak Guna Bangunan diajukan oleh pemegang hak dalam tenggang waktu 2 (dua) tahun, sebelum berakhirnya jangka waktu hak tersebut. Keterangan di atas memperlihatkan, bahwa PP Nomor 40 Tahun 1996 menggunakan kalimat lugas “selambat-lambatnya”. Sedangkan PMNA/KBPN Nomor 9 Tahun 1999 memakai istilah “tenggang waktu”, yang menyiratkan makna lebih longgar. Adanya 2 (dua) istilah berbeda yang dipergunakan menyangkut jangka waktu pengajuan permohonan perpanjangan Hak Guna Bangunan, maka dapat menimbulkan penafsiran serta implementasi yang berbeda. Hal ini akan sedikit banyak berpengaruh terhadap terselenggaranya kepastian hukum.
Berdasarkan alasan dan pemaparan di dalam lingkup perpanjangan dan pembaharuan Hak Guna Bangunan di Atas Tanah Negara yang terkait dengan perbedaan jangka waktu permohonan perpanjangan haknya di dalam dua peraturan yang berhierarki tersebut
JAKARTA ( ndonesiapublisher.com) – Forum Peduli Tanah Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) demi NKRI atau Forpeta NKRI mengadu ke Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) menuntut hak tanah mereka pada Senin (27/5/2024) lalu.
Ketua Forpeta NKRI Zealous Siput Lokasari mengatakan, pihaknya mengadukan Kakanwil ATR/BPN DIY, Suwito yang tidak memperpanjang Sertifikat Hak Guna Bangunan (SHGB). “Otomatis Suwito menghalangi PNBP sehingga merugikan negara,” kata Siput pada Selasa (28/5/2024).
Ia berharap agar laporan ini ditindaklanjuti dengan tegas oleh Menteri ATR/BPN Agus Harimurti Yudhoyono.
“Kami meminta agar SHGB para pemohon diperpanjang sesuai perintah undang-undang,” katanya.
Anggota Komisi II DPR RI Riyanta foto bersama usai menerima audiensi dari Forum Peduli Tanah Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) untuk NKRI di Gedung Nusantara, Senayan, Jakarta, Senin (27/5/2024). Foto: Ist
Anggota Komisi II DPR RI Riyanta menerima audiensi dari Forum Peduli Tanah Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) untuk NKRI terkait status Hak Guna Bangunan (HGB) yang sudah bertahun-tahun tidak bisa diperpanjang. Dalam pertemuan ini, Riyanta berharap semua pihak terkait termasuk Kanwil BPN Daerah Istimewa Yogyakarta dan Gubernur Yogyakarta bisa duduk bersama masyarakat, sehingga bisa menyelesaikan masalah pertanahan yang sudah melarut di DIY ini.
”Saya sarankan kepada warga yang memegang HGB ini untuk bisa melakukan audiensi dengan DPR Komisi II, nanti dengan pemerintah yang dalam hal ini presiden akan diwakili oleh KSP, sama Kementerian ATR BPN dan warga, plus Gubernur DI Yogyakarta. Jadi saran saya agar semua pihak bisa duduk bersama untuk mencari solusi yang terbaik sesuai dengan prinsip dasar negara hukum,” kata Riyanta usai audiensi di Gedung Nusantara, Senayan, Jakarta, Senin (27/5/2024).
Dijelaskan Riyanta, permasalahan dimulai lantaran BPN mengindikasikan tanah para warga pemegang SHGB ini merupakan tanah milik kesultanan. Padahal dalam audiensi dijelaskan, tanah tersebut berstatus milik negara. ”Sedangkan kalau menurut ketentuan di Undang-Undang 5 Tahun 1960 tentang Pokok-Pokok Agraria, sejak tanggal 24 September tahun 1980, jadi semua tanah-tanah bekas hak barat, intinya dan lain-lain itu, jatuh menjadi tanah negara,” katanya.
Untuk itu, menurut Politisi Fraksi PDI-Perjuangan ini, negara harusnya kembali pada pedoman dan prinsip dasar negara hukum. ”Kemudian juga kembali kepada pasal 7 Undang-Undang nomor 12 tahun 2011 tentang hierarki peraturan perundang-undangan. Jadi tentu kalau di dalam satu praktik penyelenggaraan pemerintahan ada beberapa aturan yang saling bertentangan, ini kembali pada perundang-undang yang bersifat khusus,” sambungnya.
Lebih lanjut, Legislator Dapil Jawa Tengah III ini berharap para pemegang SHGB ini bisa dilayani oleh negara, tentunya dengan memperhatikan prinsip-prinsip aturan yang ada. ”Jadi tanah-tanah yang selama ini sudah diakui oleh negara dengan diberikan SHGB, kemudian ini jatuh tempo, diperpanjang ya otomatis pemegang hak ini diistimewakan, didahulukan, diutamakan,” ujarnya.
“Oleh siapa? Oleh Undang-Undang. Jadi saya berharap BPN dalam hal ini, BPN Kanwil Jogja maupun Kantah Jogja itu di dalam melaksanakan layanan publiknya, menggunakan aturan. Karena di dalam praktek penyelenggaraan pemerintahan negara itu yang paling penting kan asas legalitasnya,” lanjutnya.
Stefanus Artanto, SH, Notaris- PPAT senior di Jawa Tengah dan DIY
Dikesempatan lain, salah seorang Notaris- PPAT di Jawa Tengah dan Daerah Istimewa Yogyakarta, Stefanus Artanto,SH menanggapi masalah HBG DIY ini dengan menyarankan penyelesaian secara menyeluruh dengan menggali aturan dasarnya.
Menurut hemat Stefanus Artanto, duduk bersama dengan minta pendapat pakar tentu lebih berguna dibanding dengan membawa masalah ini ke Pengadilan atau lembaga non yudisial yang sifatnya mencari dukungan.
Karena perpanjangan atau perubahan HGB diatas tanah Negara ditempat lain tidak sulit dan tidak pelik.
Karena itu jelas Artanto, “Keistimewaan Yogyakarta harus diberi makna untuk sebesar-besarnya bagi kemanfaatan masyarakat Yogyakarta itu sendiri dan memberi makna yang terbaik tanpa meyangkut-pautkan dengan hal-hal yang tidak konstruktif”. (anr/hud/red)