Diskusi Panel “Analisis Yuridis Tentang Perjanjian Utang Piutang Yang Dibalut Dengan Perjanjian Pengikatan Jual Beli” Persembahan Pengda Kota Surakarta INI

Notaris- PPAT1722 Views

(Solo,indonesiapublisher.com) – Mengawali perjumpaan di awal  tahun 2022 ini tepatnya pada Kamis (13/1/2022) mulai pukul 08.00 wib hingga  selesai,  Pengurus  Daerah  Kota  Surakarta Ikatan Notaris Indonesia (Pengda Kota Surakarta INI) dengan  bangga  mempersembahkan  sebuah acara Diskusi  Panel yang mengusung tema “Analisis Yuridis Tentang Perjanjian Utang Piutang Yang Dibalut Dengan Perjanjian Pengikatan Jual Beli”bertempat di Ballroom hotel Swiss Bellin, Saripetojo,Kota Surakarta,Jawa Tengah.

Berdasarkan  pantauan indonesiapublisher.comdari tempat acara,  acara  Diskusi Panel itu banjir peserta antara lain  kalangan Notaris-PPAT  dari Solo Raya juga Anggota  Luar  Biasa (ALB)  INI serta  kalangan mahasiswa prodi Kenotariatan.  Mereka  bukan  hanya  dari sekitar Solo  dan sekitarnya saja, namun  ada pula   yang dari luar daerah.

Sambutan Ketua Pengda Kota Surakarta INI, Dradjad Uripno,SH,MH

Ketua  Pengda  Kota Surakarta  Ikatan Notaris Indonesia, Dradjad Uripno,SH,MH dalam  sambutannya menyatakan, termakasih yang sebesar-besarnya  dan  yang  tak terhingga dari  kami Pengda  Kota  Surakarta INI atas kehadiran  seluruh  peserta  acara diskusi Panel kali  ini,semoga Tuhan Yang Maha Kuasa   kiranya  senantasa selalu  memberkahi  dan melimpahkan segala nikmat-Nya kepada  kita  semua…..Amiiiin.

Dradjad Uripno menambahkan  lagi,tak  lupa  juga  kami  mengucapkan   selamat   datang  kepada  Ketua  Pengwil  Jateng INI, bapak Dr.Widhi Handoko,SH,SpN  beserta  jajarannya yang meluangkan waktunya untuk hadir di tempat  ini,juga kepada  para   bapak/ibu narasumber ternama dan berkompeten yang telah sudi   kiranya untuk berbagi  ilmu  kepada  kami  disini,  dan  yang  luar  biasa   adalah  atas  dukungan  dan  support kerja keras,kerja  cerdas   dan full spirit  dari  semua  rekan-rekan  pantia  acara  diskusi panel ini,   sehingga acara  tersebut  dapat  berjalan  lancar,aman,sukses  tanpa  kendala  suatu  apapun.  

Selanjutnya   urai  Dradjad   lagi,  kami  mengucapkan   selamat  mengikuti  acara  diskusi  panel   dan semoga  ilmunya  akan  sangat berguna  dan bermanfaat  buat   bapak/ibu   sekalian.

Ketua  Pengwil Jawa  Tengah  INI,Dr.Widhi   Handoko,SH,SpN yang  sekaligus  sebagai  Keynote Speaker’s dalam acara  diskusi panel tersebut  mengatakan,   Berkaitan  dengan  acara  diskusi  panel   yang  mengusung tema “Analisis Yuridis Tentang Perjanjian Utang Piutang Yang Dibalut Dengan Perjanjian Pengikatan Jual Beli”, maka  disini  perlu  saya   terangkan  bahwa saya  pada  kesempatan  ini akan akan  membawakan  sebuah tema terkait “Kedudukan  PPJB dan Kuasa  Jual   Dalam Peristiwa Hukum Perikatan Utang Piutang”.

Dr. Widhi Handoko,SH,SpN Sebagai Keynote Speaker’s di acara diskusi panel

Lebih lanjut Widhi Handoko yang juga Ketua Pengwil IPPAT Jateng tersebut menerangkan, Akta Otentik merupakan alat bukti sempurna  atau absolud. Jika pada kenyataan para pihak hutang piutang kemudian dibuatkan aktanya oleh Notaris  sebagai pengikatan jual beli dan kuasa jual ataskehendak para pihak dengan tujuan untuk mempermudah eksekusijaminan jika  ternyata Wanprestasi “Bagaimana hukumnya??Bagaimana  kedudukan  alat bukt tersebut jka dikemudian hari terjadi gugatan perdata maupun pidana? Jenis-jenis   alat  bukti dalam perkara perdata maupun pidana sebagai berikut : (1).mengenai   alat  bukti yang diatur  dalam perkara perdata diatur dalam Undang-Undang Perdata Pasal 1866 KUH Perdata,Pasal 164 HIR. (2). Sedangkan  dalam  acara Pidana  diatur  dalam Pasal 184 KUHAP.

Alat-alat bukti perdata dan pidana. Untuk perkara perdata, alat bukti  Hukum Acara  Perdata  Pasal 1866 Burgerlijk  Wetboek  atau Pasal 164 HIR/Pasal 284 RBG :  

 1. B u k t i tu lis a n

2. B u k t i dengan S a k s i-s a k s i

3. P e rs a n g k a a n -p e rs a n g k a a n

4. P e n g a k u a n

5. S um p a h.

Merujuk Pada Ketentuan Pasal 1866

Kuhperdata/Pasal 164 HIR/Pasal 284 RBG:

•Maka bukti tulisan yang dimaksud ialah yang tertera atau

tertulis dalam lembaran kertas yang berisikan kata-kata

dengan maksud dan tujuan tertentu.

• Konsep tulisan atau surat yang dimaksud merupakan konsep

yang lazim dan umum digunakan ketika sejumlah peraturan

perundang-undangan tentang hukum pembuktian perkara

perdata disusun dan diberlakukan.

• Baca pula pada UU no. 30 Tahun 2014 & Perma No. 4 Tahun

2015. khususnya Pasal 10.

Widhi   menguraikan  lagi,  ALAT BUKTI TULISAN: Merupakan alat

bukti formil (Mengenal Herarki Alat Bukti)

B e r la k u P em a k n a a n P ro b a t io P le n a : 1866-1875

K U H P e rd a ta

A r t in y a M e ru p a k a n A la t B u k t i P e n u h (B u k t i S em p u rn a ) ;

• MEMELIKI KEKUATAN PEMBUKTIAN YANG ABSOLUD

• TIDAK TERBANTAHKAN

• TIDAK DIMUNGKINKAN BUKTI LAWAN

Mengapa demikian, sebab dalam pembuktian perdata yang dicari adalah

pembuktian formil, dan surat menempati alat bukti yang teratas maka

berlaku probatio plena. Berbeda dengan perkara pidana, sebab yang dicari

dalam perkara pidana adalah bukti materiil vrije bewijs adalah bukti bebas

artinya hakim dalam perkara pidana tidak terikat secara mutlak alat bukti.

SEDANGKAN DALAM KUHAP, MACAM-MACAM ALAT BUKTI

DIATUR DALAM PASAL 184 KUHAP, YAITU :

Alat bukti yang sah berdasarkan184

KUHAP:

a. – Keterangan saksi;

b. – Keterangan ahli;

c. – Surat;

d. – Petunjuk;

e. – Keterangan terdakwa.

Alat bukti Hukum Acara Pidana dahulu

diatur dalam Pasal 295 Herzien

Inlandsch Reglement (HIR) :

a. – Keterangan saksi;

b. – Surat-surat;

c. – Pengakuan;

d. – Tanda-tanda (petunjuk).

Catatan: pembuktian Pidana berbeda dengan Perdata; Dasar hukum sekaligus sumber hukum

pembuktian perkara perdata menurut Pasal 164 HIR/Pasal 284 RBg/Pasal 1866 KUH. Perdata

menempatkan alat bukti tulisan (tulisan) sebagai alat bukti teratas.

TINDAK PIDANA DALAM PERJANJIAN MEMBUAT

PERJANJIAN BATAL DEMI HUKUM

• Sebagaimana telah dijelaskan di ata s bahwa perjanjian yang memiliki hal

yang terlarang menyebabkan perjanjian tersebut batal demi hukum,

berdasarkan Pasal 1254 KUH Perdata diatur sebagai berikut:

• Semua syarat yang bertujuan melakukan sesuatu yang tak mungkin

terlaksana, sesuatu yang bertentangan dengan kesusilaan yang baik, atau

sesuatu yang dilarang oleh undang-undang adalah batal dan

mengakibatkan persetujuan yang digantungkan padanya tak berlaku.

• Terlebih secara spesifik apabila ada tindak pidana penipuan dalam suatu

perjanjian maka perjanjian tersebut batal demi hukum jika dapat

dibuktikan ada unsur pidana dalam perjanjian itu. Hal ini berdasarkan Pasal

1328 KUH Perdata, yang berbunyi: “Penipuan merupakan suatu alasan

untuk membatalkan suatu persetujuan, bila penipuan yang dipakai oleh

salah satu pihak adalah sedemikian rupa, sehingga nyata bahwa pihak yang

lain tidak akan mengadakan perjanjian itu tanpa adanya tipu muslihat.

Penipuan tidak dapat hanya dikirakira, melainkan harus dibuktikan.”

“Selanjutnya, kepada  seluruh  peserta  diskusi  panel   saya  mengucapkan  selamat berdiskusi, gunakan  kesempatan  pada  sesi  acara  tanya  jawab  dengan  ketiga  narasumber  yang  sangat  piawai dan  berkompeten  tersebut,laksana  ilmu  rekan-rekan  akan  bertambah   dan  bermanfaat  terkait  dengan  tugas  dan  jabatan rekan-rekan sekalian”,jelas  Widhi.

Lalu,masuklah  pada  acara  diskusi panel yang menampilkan  ketiga narasumber masing-masing yaitu :  (1).Prof.Dr.Hartiwiningsih,SH,M.Hum ,akademisi dan Dosen dari  UNS Surakarta.   (2).Dr. AL. Sentot Sudarwanto,SH,M,Hum, akademisi dan Dosen UNS Surakarta. (3). Dr.Habib Adjie,SH,M,Hum, Praktisi Notaris dengan  moderator  Toto Susmono Hadi,SH,MH.

ketiga narasumber masing-masing yaitu :  (1).Prof.Dr.Hartiwiningsih,SH,M.Hum ,akademisi dan Dosen dari  UNS Surakarta.   (2).Dr. AL. Sentot Sudarwanto,SH,M.Hum, akademisi dan Dosen UNS Surakarta. (3). Dr.Habib Adjie,SH,M,Hum, Praktisi Notaris dengan  moderator  Toto Susmono Hadi,SH,MH.

Pada  sesi materinya, Prof.Dr.Hartiwiningsih,SH,M.Hum mengetengahkan paparannya  dengan  topik :Konstruksi tindak pidana hutang piutang yang dibalut PPJB.

Menurut  Prof.Hartiwiningsih, bahwa Wewenang Notaris

Notaris merupakan pejabat yang mempunyai kewenangan

membuat akta autentik berdasarkan Undang-Undang.

Kewenangan Notaris ini sesuai dengan ketentuan di dalam

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 2 tahun 2014

Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 30 tahun

2004 tentang Jabatan Notaris Pasal 15 ayat (1) yang

Menyebutkan.

“Notaris berwenang membuat akta autentik mengenai semua

perbuatan, perjanjian, dan ketetapan yang diharuskan oleh peraturan

perundang-undangan dan/atau yang dikehendaki oleh yang

berkepentingan untuk dinyatakan dalam akta otentik, menjamin

kepastian tanggal pembuatan akta, menyimpan akta, memberikan

grosse, salinan, dan kutipan akta, semuanya itu sepanjang pembuatan

akta-akta itu tidak ditugaskan atau dikecualikan kepada pejabat lain

atau orang lain yang ditetapkan oleh undang-undang”.

Sedangkan Perjanjian PPJB

Perjanjian Pengikatan Jual Beli (PPJB) merupakan perjanjian pendahuluan yang

dibuat oleh para pihak dalam hal ini penjual dan pembeli dalam hal peralihan hak

atas tanah yang belum dapat dilakukan dihadapan Pejabat Pembuat Akta Tanah

(PPAT), karena belum terpenuhinya unsur-unsur jual beli antara lain adalah

sertifikat tanah masih dalam proses, atau belum terjadi pelunasan harga atau pajakpajak

yang dikenakan terhadap jual beli tanah belum dapat dibayar baik oleh

penjual atau pembeli. Masyarakat dapat memilih untuk mengadakan perjanjian

pendahuluan yang bertujuan untuk mengikat para pihak, dimana perjanjian

pendahuluan itu akan berisikan bahwa pihak penjual dan pihak pembeli berjanji

bahwa pada saat segala persyaratan yang menyangkut pelaksanaan jual beli tersebut

telah terpenuhi secara sepenuhnya, para pihak akan melakukan jual beli di hadapan

Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) yang berwenang.

PPJB merupakan suatu perjanjian yang dibuat atas dasar kesepakatan,

dalam rangka mengatur kepentingan para pihak dengan melihat

ketentuan Pasal 1320 KUHPerdata tentang syarat sahnya suatu

perjanjian diperlukan empat syarat yaitu, 1. Sepakat mereka yang

mengikatkan dirinya, 2. Kecakapan untuk membuat suatu perikatan,

3. Suatu hal tertentu, dan 4. Suatu sebab yang halal.

Dasar Pembuatan PPJB

PPJB belum diatur dalam perundang-undangan namun dalam praktik PPJB

dapat dibuat dengan akta notariil ataupun di bawah tangan. Notaris dalam

membuat akta PPJB, bersandar pada ketentuan Pasal 15 ayat (2) huruf f UU

No. 2 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas UU No 30 Tahun 2004 tentang

Jabatan Notaris yang memberikan kewenangan kepada notaris untuk membuat

akta yang berkaitan dengan pertanahan. Secara normatif diterima sebagai

norma yang berlaku sebagai hukum positif. Prinsip terpenting dalam PPJB

adalah perjanjian tersebut berisi klausula-klausula yang sesuai dengan

kepentingan dan kesepakatan para pihak, serta hak-hak dan kewajiban

(prestasi) yang harus dipenuhi dan dilaksanakan oleh penjual dan pembeli.

Secara yuridis normative, pada perjanjian utang piutang, seorang kreditur dan

debitur membuat Akta Pengakuan Hutang dengan jaminan hak atas tanah

dan dibuatkan pula Akta Pemberian Hak Tanggungan yang apabila sewaktuwaktu

debitur ingkar janji (wanprestasi) maka akan ditempuh melalui proses

lelang, kondisi eksisting menunjukan terjadi penyimpangan proses hukum, di

mana kreditur dan debitur tadi membuat perbuatan hukum lain, yakni PPJB

yang disertai dengan kuasa menjual. PPJB tersebut diikuti pembuatan akta

kuasa menjual yang seolah-seolah telah terjadi kesepakatan jual beli hak atas

tanah antara pihak penjual dan pembeli yang sebenarnya untuk penyelesaian

utang piutang bukan karena adanya peralihan hak jual beli atas tanah.

Oleh karena itu, PPJB berkedudukan sebagai salah satu jenis

perjanjian yang obligatoir dan konsensuil yang tunduk pada

ketentuan Pasal 1320, Pasal 1457, serta Pasal 1338 Kitab Undang-

Undang Hukum Perdata.

Berdasarkan asas kebebesan berkontrak para pihak dapat

membuat suatu perjanjian berisi apa saja dan berbentuk apa saja

asalkan tidak melanggar peraturan perundang-undangan

ketertiban umum dan kesusilaan.

Prof.  Hartiwi  menandaskan, dari kacamata hukum tanah nasional praktek jual beli tanah dengan hak

membeli kembali merupakan suatu penyelundupan hukum. Hal mana

Mahkamah Agung telah mengeluarkan yurisprudensi atas hal tersebut,

Putusan Mahkamah Agung (Perkara PK) No.78/PK/Pdt/1984 tanggal 9 April

1987 menerangkan bahwa Akta Notaris yang dibuat dengan Materi suatu

perjanjian hutang piutang dengan jaminan tanah/rumah yang dibungkus

sebagai satu perjanjian jual beli tanah dengan hak membeli kembali yang

tujuannya digunakan untuk melakukan peralihan hak atas tanah debitor

kepada kreditor bilamana debitor wanprestasi, maka hal demikian itu adalah

sutau perjanjian semu atau pura-pura dan harus dinilai sebagai perjanjian

hutang piutang.

Selanjutnya, Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor

1729 PK/Pdt/2004 menegaskan jual beli dengan hak membeli kembali

dalam Pasal 1519 KUHPerdata, adalah tidak diperbolehkan, karena

Perjanjian jual beli dengan hak membeli kembali adalah perjanjian

hutang-piutang yang terselubung (semu) dan tidak sesuai dengan

hukum adat yang tidak mengenal jual beli dengan hak untuk membeli

kembali. Oleh sebab itu, perjanjian jual beli tanah dengan hak membeli

kembali harus dianggap batal demi hukum.

Pembicara   kedua   pada  diskusi panel    tersebut   adalah  Dr. AL, Sentot   Sudarwanto,SH,M.Hum   dengan  mengangkat topik “Analisis Yuridis tentang Perjanjian Utang Piutang yang dibungkus denganPerjanjian Pengikatan Jual Beli (PPJB)”.

Di kesempatan itu  Sentot  memaparkan,bahwaPasal 1754 KUHPerdata“Pinjammeminjam à persetujuan dg mana pihak yg satu

memberikan kpd pihak yg lain sesuatu jumlah ttg

barang/uang yg menghabiskan krn pemakaian, dg syarat

bahwa pihak yg belakangan ini akan mengembalikan dg

jumlah yg sama dari macam dan keadaan yg sama pula”.

Unsur dalam suatu perjanjian pinjam meminjam diantaranya :

1. Adanya para pihak

2. Adanya persetujuan

3. Adanya sejumlah barang tertentu

4. Adanya pengembalian pinjaman kpd pihak yg satu.

Perjanjian pinjam meminjam/utang-piutang

Unsur dalam suatu perjanjian pinjam meminjam diantaranya :

1. Adanya para pihak

2. Adanya persetujuan

3. Adanya sejumlah barang tertentu

4. Adanya pengembalian pinjaman kpd pihak yg satu.

Perjanjian Jual beli

Pasal 1457 KUHPerdata menjelaskan: “Jual beli adalah

suatu perjanjian, yg mana pihak yg satu mengikatkan

dirinya untuk menyerahkan suatu kebendaan, dan pihak

yg lain untuk membayar harga yang telah dijanjikan”

Unsur dalam suatu perjanjian jual beli diantaranya :

1. Adanya para pihak

2. Adanya persetujuan

3. Adanya penyerahan barang tertentu

4. Adanya penyerahan uang/harga.

Kedudukan PPJB yg Dibuat Untuk

Penyelesaian Utang Piutang.

Kedudukan PPJB merupakan perjanjian pendahuluan yg

dibuat oleh para pihak dlm peralihan hak atas tanah yg

belum dapat dilakukan dihadapan PPAT

akan tetapi masih banyak terjadi penyimpangan proses

hukum yakni PPJB yg disertai dg kuasa menjual. PPJB yg

diikuti pembuatan akta kuasa menjual, seolah-seolah

telah terjadi kesepakatan jual beli hak atas tanah antara

pihak penjual & pembeli yg sebenarnya untuk

penyelesaian utang piutang.

ØPasal 1320 KUHPerdata à syarat sahnya perjanjian,

ØPasal 1457 KUHPerdata à Suatu persetujuan dg mana pihak

yg satu mengikatkan dirinya untuk menyerahkan suatu barang &

pihak lain untuk membayar harga yg dijanjikan)

ØPasal 1338 KUHPerdata (Asas-Asas Perjanjian) à Asas

kebebasan berkontrak, para pihak dapat membuat suatu

perjanjian berisi apa saja dan berbentuk apa saja asalkan tidak

melanggar Per-UU, ketertiban umum dan kesusilaan

PPJB berkedudukan sebagai salah satu jenis perjanjian

yg obligatoir dan konsensuil yg tunduk pada ketentuan:

PPJB yg dibuat untuk penyelesaian utang piutang

telah menyalahi aturan hukum.

1. Perjanjian tersebut dilakukan dimana salah satu pihak sedang terpuruk

keadaan ekonominya sehingga tidak bebas dalam membuat perjanjian yg

dapat dikatakan adanya penyalahgunaan keadaan.

2. mengandung sesuatu sebab yang palsu dan terlarang yaitu salah satu

bentuk penyelundupan hukum seolah olah terjadi peralihan berupa jual

beli .

Pasal 1320 KUHPerdata tentang syarat sahnya suatu perjanjian yaitu :

1) Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya

2) Kecakapan untuk membuat suatu perikatan

3) Suatu hal tertentu, dan

4) Suatu sebab yg halal

Pasal 1335 KUHPerdata Suatu perjanjian tanpa sebab, atau yang

telah dibuat karena sesuatu sebab yang palsu atau terlarang, tidak

mempunyai kekuatan”

Dr.  Sentot  merincinya   kembali,akibat Hukum PPJB yang Dibuat Untuk

Penyelesaian Utang Piutang

Dalam Perjanjian utang piutang dg jaminan sertipikat tanah, kreditur &

debitur membuat Akta Pengakuan Hutang dg jaminan tsb dibuatkan

pula Akta Pemberian Hak Tanggungan.

Terkait PPJB dengan kuasa menjual à tidak terpenuhinya syarat

subjektif dan syarat objektif dari syarat sahnya perjanjian, yaitu:

ØAdanya unsur penyalahgunaan keadaan (misbruik van omstandigheden)

dimana perjanjian tersebut dibuat oleh para pihak atas kehendak yg tidak

bebas yg dapat mengandung unsur kekhilafan, penipuan/paksaan krn

adanya salah satu pihak terpuruk keadaan ekonominya

Øperjanjian tersebut telah dibuat karena sesuatu sebab yg palsu / terlarang

Maka dengan demikian perjanjian itu batal demi hukum

Jual beli dengan hak membeli kembali

Pasal 1519 KUHPerdata à penjual (pemilik semula)

mempunyai atau diberikan hak dg suatu perjanjian untuk

membeli kembali barangnya yang telah dijual tersebut,

Pasal 1520 KUHPerdata à dgn jangka waktu tidak lebih dr 5

tahun

Pasal 1337 KUHPerdata à Perjanjian jual beli dg hak untuk

membeli kembali diperbolehkan selama tidak bertentangan dg

asas kepatutan, ketertiban umum dan kesusilaan dan memenuhi

syarat sahnya perjanjian

Perjanjian Jual Beli Tanah dg Hak Membeli Kembali

Putusan MA RI No 1729 PK/Pdt/2004 tentang jual beli dengan

hak membeli kembali. Menurut putusan tersebut perjanjian jual

beli dengan hak membeli kembali adalah tidak diperbolehkan,

karena beberapa hal :

1. Perjanjian jual beli dg hak membeli kembali adalah perjanjian

hutang-piutang yg terselubung (semu). Artinya, bahwa

perjanjian jual beli dg hak membeli kembali sebenarnya

adalah perjanjian hutang piutang, yakni pemberian

pinjaman dengan jaminan.

2. Perjanjian jual beli dengan hak membeli kembali bertentangan

dengan hukum adat, karena hukum adat tidak mengenal jual

beli dengan hak untuk membeli kembali (Ps 5 UUPA .5/1960 ).

Kesimpulan:

a.Perjanjian jual beli dg perjanjian utang piutang memiliki

konstruksi hukum yg berbeda & tidak bisa digabungkan.

Karena menimbulkan akibat hukum yang berbeda pula pada

perjanjian tersebut.

b.PPJB dgn Kuasa menjual & Perjanjian jual beli dg hak membeli

kembali sebenarnya merupakan transaksi abu-abu/perjanjian

simulasi yg dilarang oleh Per-UU khususnya UUPA No 5/1960,

Putusan MA No.78/PK/Pdt/1984 dan Putusan MA Nomor 1729

PK/Pdt/2004

c.Notaris harus mempunyai sikap tegas untuk berani menolak

transaksi utang piutang yg dibungkus dengan Perjanjian

Pengikatan Jual Beli.

Saran :

Notaris harus berpegang teguh pada prinsip

perundang-undangan & Kode Etik Notaris dan

melaksanakan secara konsekuen sehingga notaris

bisa profesional dan berkarakter moral.

Sebagai pembicara selanjutnya  adalah  Dr.Habib Adjie,SH,M.Hum,Praktisi   Notaris  dengan  memaparkan topiknya  yatu “Utang Piutang Yang Dibuat Dengan Pengikatan Jual Beli   Sebagai Penyalahgunaan  Keadaan (Misbruik Omstandigheiden atau Undue Influence).

Dr.Habib Adjie,SH,M.Hum saat memberikan paparan materinya

Lebih lanjut  Dr.Habib  Adjie  menguraikan,  •DALAM MENJALANKAN TUGAS

JABATAN SEBAGAI NOTARIS APAKAH

KITA PERNAH ATAS PERMINTAAN

PARA PENGHADAP UNTUK

MEMBUAT AKTA UTANG-PIUTANG

ATAU PINJAM-MEMINJAM UANG

KEMUDIAN PARA PENGHADAP

MEMINTA AGAR DIBUATKAN JUGA

AKTA PENGIKATAN JUAL BELI ?

KASUS 1 : NOTARIS/PPAT YANG MEMBUAT AKTA PERJANJIAN HUTANG

PIUTANG BERSAMAAN DENGAN PERJANJIAN PENGIKATAN JUAL BELI,

DIMANA TERDAPAT 2 (DUA) PERISTIWA HUKUM YANG TERJADI DIWAKTU

BERSAMAAN YAITU HUTANG PIUTANG DAN JUAL BELI SERTA DENGAN

OBJEK YANG SAMA UNTUK 2 (DUA) PERBUATAN HUKUM.

PUTUSAN PENGADILAN NEGERI BALE BANDUNG NOMOR

247/PDT.G/2017/PN BLB, YANG DIDALAMNYA MENGANDUNG UNSURUNSUR

PENYALAHGUNAAN KEADAAN (MISBRUIK VAN ONSTANDIGHEDEN)

YANG DIMANA HAL TERSEBUT DILAKUKAN OLEH NOTARIS/PPAT BERSAMA

DENGAN SALAH SATU PIHAK DALAM AKTA TERSEBUT, DIMANA TERDAPAT

MAKSUD ITIKAD TIDAK BAIK DENGAN NIAT JIKA SUATU SAAT PENGGUGAT

MELAKUKAN WANPRESTASI, MAKA OBJEK JAMINAN HUTANG PIUTANG

TERSEBUT DAPAT LANGSUNG DIALIHKAN SECARA SERTAMERTA DENGAN

JUAL BELI TANPA PERLU MEMINTA PERSETUJUAN KEMBALI KEPADA PEMILIK

OBJEK YAITU PENGGUGAT. HAL INI JELAS MENIMBULKAN KERUGIAN

SECARA MATERIL DENGAN BERALIHNYA KEPEMILIKAN TANAH TERSEBUT

TANPA SEPENGETAHUAN DARI PEMILIK TANAH SERTA MENGINGAT BAHWA

UANG PINJAMAN YANG TERDAPAT DALAM PERJANJIAN HUTANG PIUTANG

TERSEBUT TIDAK SEPENUHNYA DITERIMA OLEH PENGGUGAT AKAN TETAPI

OLEH PIHAK KETIGA YANG DALAM HAL INI ADALAH TERGUGAT.

Ketua  Prodi  Magister Kenotariatan Universitas Narotama  tersebut  menerangkan  lagi, KASUS 2 : PUTUSAN MAHKAMAH AGUNG REPUBLIK INDONESIA NO. 3182

K/PDT/2010 TERJADI PERKARA YANG BERKAITAN DENGAN PERJANJIAN AKTA JUAL

BELI DIMANA PARA PENGGUGAT SEBELUMNYAMENANDATANGANI AKTA JUAL

KARENA INISIATIF DARI TERGUGAT, SEBAGAI PROFORMA DALAM RANGKA

MENJAMIN UANG TERGUGAT SEBAGAI BIAYA JASA SENILAI RP. 300.000.000,- UNTUK

ANAK TERGUGAT DAPATMASUK BEKERJA KE KEJAKSAAN, NAMUN ANAK TERGUGAT

TIDAK DITERIMA SEHINGGA TERGUGAT INGIN UANGNYA KEMBALI DAN SEBAGAI

JAMINANNYA TERGUGAT MEMINTA KEPADA PENGGUGAT BERSEDIA

MENANDATANGANI AKTA JUAL BELI NO 01/PPAT/GENTENG/III/2006 YANG MANA

BILA TERJUAL NANTI BISA UNTUK MENGEMBALIKAN UANG TERGUGAT ANAK

TERGUGAT SEHINGGA TERGUGAT BERNIAT UNTUK MEMPROSES LEBIH LANJUT JUAL

BELI TERSEBUT KE BADAN PERTANAHAN YAITU MEMBALIK NAMA ATAS NAMA

TERGUGAT. TIDAK BERLANGSUNG LAMA SETELAH PENANDATANGANAN AKTE JUAL

BELI TERSEBUT TERGUGAT MENGANCAM PENGGUGAT UNTUK MENGOSONGKAN

DAN MENYERAHKAN PERSIL TERSEBUT DAN BILA TIDAK MAU AKAN DILAKUKAN

PENGOSONGAN SECARA PAKSA, KEADAAN INI MEMBUKTIKAN AKAN PARA

PENGGUGAT TIDAK BEBAS DAN ADANYA PENYALAHGUNAAN KEUNGGULAN

EKONOMI à MAHKAMAH AGUNG MEMBATALKAN PUTUSAN PENGADILAN TINGGI

DAN MENGUATKAN PENGADILAN NEGERI, HAKIM DALAM PERTIMBANGANNYA

BERPENDAPAT JUAL BELI TERSEBUT SEBAGAI PENYALAHGUNAAN KEADAAN YANG

DAPAT MERUGIKAN PIHAK PENGGUGAT

KASUS 3 : Putusan Mahkamah Agung No. 1904K/Sip/1982, dalam kasus

Luhur Sundoro lawan Dr. Soetardjo, à (1) Walaupun akta notaris

yang memuat Dr. Soetardjo (Terlawan III) memberi kuasa kepada

Luhur Sundoro (Pelawan) untuk antara lain menjual rumah sengketa

kepada pihak ketiga maupun kepada diri Pelawan sendiri, dianggap

sah, namun mengingat riwayat terjadinya surat kuasa tersebut yang

sebelumnya bermula dari surat pengakuan hutang dari Terlawan III

dengan menjaminkan rumah sengketa, yang karena tidak dapat

dilunasi pada waktunya, maka dirubah menjadi kuasa untuk menjual

beli rumah tersebut, sebenarnya merupakan perjanjian semu untuk

menggantikan perjanjian asli yang merupakan hutang piutang. (2)

Karena Terlawan III terikat pula dengan hutang-hutang lainnya yang

sudah memperoleh putusan pengadilan yang berkekuatan tetap, maka

ia berada, maka ia berada dalam posisi lemah dan terdesak, sehingga

terpaksa menandatangani perjanjian-perjanjian dalam akta notaris

yang bersifat memberatkan baginya.

KASUS 4 : PERSOALAN BERAWAL DARI HUTANG PIUTANG DEBITUR PADA SEBUAH

BANK YANG TELAH JATUH TEMPO, SENILAI RP. 750.000.000,-. AGAR JAMINAN HAK

TANGGUNGAN PADA BANK TERSEBUT TIDAK DIJUAL SECARA LELANG, MAKA

DEBITUR BERUSAHA MENCARI PINJAMAN PADA KREDITUR SENILAI RP. 750.000.000,-

UNTUK MELUNASI HUTANGNYA. ATAS DASAR HUTANG PIUTANG YANG BARU

TERSEBUT, KREDITUR MEMINTA JAMINAN TANAH YANG DIBEBANI DENGAN HAK

TANGGUNGAN OLEH PIHAK BANK. SERTIFIKAT TANAH TERSEBUT KEMUDIAN

DIKUASAI OLEH KREDITUR SEBAGAI JAMINAN PELUNASAN HUTANG PIUTANG

DENGAN PIHAK DEBITUR. TERHADAP JAMINAN TERSEBUT KREDITUR TIDAK

MELAKUKAN PENGIKATAN DENGAN HAK TANGGUNGAN. PERSOALAN MUNCUL

KARENA DALAM PERJANJIAN HUTANG PIUTANG TERSEBUT DIPERJANJIKAN BAHWA

KREDITUR SECARA OTOMATIS BERHAK UNTUK MEMILIKI TANAH YANG DIGUNAKAN

SEBAGAI JAMINAN APABILA DEBITUR WANPRESTASI. KETIKA HUTANG PIUTANG

ANTARA KREDITUR DAN DEBITUR TELAH JATUH TEMPO, DEBITUR TIDAK MAMPU

MELUNASI KEWAJIBANNYA. OLEH KARENA ITU PIHAK KREDITUR MENSOMASI

DEBITUR UNTUK MELUNASI KEWAJIBNYA. DEBITUR BERUPAYA UNTUK MENCARI

SALINAN PERJANJIAN HUTANG PIUTANG, KARENA DEBITUR TIDAK MENDAPATKAN

SALINAN PERJANJIAN TERSEBUT DARI NOTARIS. SETELAH MENDAPATKAN SALINAN

PERJANJIAN SERTA MEMBACA DENGAN CERMAT, DEBITUR MENYADARI BAHWA IA

SALAH TELAH MENYETUJUI SEBUAH PERJANJIAN YANG PADA AKHIRNYA

MERUGIKANNYA. PIHAK DEBITUR KEMUDIAN MENGAJUKAN GUGATAN ATAS

DASAR PENYALAHGUNAAN KEADAAN OLEH KREDITUR.

KESIMPULAN

• BAHWA PENYALAHGUNAAN KEADAAN DAPAT TERJADI DALAM

BERBAGAI KEADAAN KARENA KEUNGGULAN

EKONOMIS/HARTA, KEUNGGULAN STRATA/KEDUDUKAN

(GELAR NINGRAT/KETURUNAN/ AKADEMIS), KARENA

TEKANAN (KEJIWAAN/PSIKOLOGIS/KETAKUTAN), HUBUNGAN

ATASAN-BAWAHAN.

• PENYALAHGUNAAN KEADAAN TERSEBUT BISA TERJADI

KARENA MOTIF YANG BERBEDA à MOTIF AWAL PINJAMMEMINJAM

UANG/UTANG-PIUTANG à ADA MOTIF LAIN :

PENGIKATAN JUAL BELI DAN KUASA JUAL, YANG

DILAKUKAN/DIBUAT JIKA PIHAK PEMINJAM WANPRESTASI.

ADA 3 (TIGA) MOTIF YANG BERBEDA DAN TUNDUK PADA

HUKUM YANG BERBEDA (AKIBAT HUKUMNYA) à (1) HUTANGPIUTANG/

PINJAM-MEMINJAM, (2) JUAL BELI DAN (3) KUASA

JUAL.

JIKA NOTARIS/PPAT TAHU BAHWA AKTA YANG

AKAN DIBUAT TAHU (BERDASARKAN CERITA

DARI PARA PENGHADAP) BERDASARKAN

ALASAN-ALASAN TERSEBUT DI ATAS DAPAT

DIPERTIMBANGKAN UNTUK MENOLAK MEMBUAT

AKTANYA. KENAPA HARUS DIPERTIMBANGKAN ?

KARENA NOTARIS/PPAT TAHU DAN MEMPUNYAI

CAPITAL INTELECTUAL MENGENAI

PENYALAHGUNAAN KEADAAN TERSEBUT.

§ BAHWA MESKIPUN TAHU SEPERTI ITU, NOTARIS

AKAN LULUH JIKA DIBERIKAN “HONORARIUM”

YANG MENGGETARKAN JIWA, HATI DAN

PIKIRANNYA. KALAU INI SUDAH TERJADI

SILAHKAN UNTUK BERTANGUNGJAWAB SAJA.

HONORARIUM BISA BERUBAH JADI

HORORARIUM.(jay/red)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

News Feed