(Kabupaten Bandung,indonesiapublisher.com) – Bertempat di Kantor salah seorang Notaris-PPAT senior Kabupaten Bandung, Jawa Barat, yakni H. Iin Abdul Jalil,SH pada Rabu, (9/3/2022) lalu, beralamat di Komplek Rumko Bilangan Katapang, Soreang,Kabupaten Bandung, jurnalis indonesiapublisher.com telah mewawancarai H.Iin Abdul Jalil,SH menyikapi perihal Instruksi Presiden Nomor. 1 Tahun 2022 Jo Surat dari Kementerian Agraria dan Tata Ruang/ Badan Pertanahan Nasional tertanggal 14 Februari 2022 Nomor HR 02/153-400/II/2022 Perihal Kartu Peserta BPJS KESEHATAN sebagai Syarat Permohonan Hak Atas Tanah/Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun karena Jual Beli mulai 1 Maret 2022 Wajib melampirkan Kartu Peserta BPJS KESEHATAN.
Iin Abdul Jalil,SH menguraikan,lantaran tidak ada korelasinya antara BPJS dengan Pertanahan, jadi terus terang saja barangkali bukan hanya saya saja sebagai Notaris-PPAT, orang lainpun termasuk Ketua Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia (DPDRI) kan tidak setuju dengan adanya kebijakan itu.
Karena sebetulnya jika BPJS harus dipersyaratkan dalam kepengurusan Hak Atas Tanah menurut saya itu bukan kebijakan yang bersifat fiskal atau moneter. Tapi kebijakannya yang sifatnya politis.
Iin Abdul Jalil menambahkan lagi,mengingat barangkali kan sumber pendapatan Negara itu atau APBN bukan hanya dari sektor pajak saja, namun juga dari sektor-sektor lainnya.
Barangkali karena APBN kita menepis terangnya lagi, dengan adanya situasi dan kondisi pandemi covid-19 saat ini, sehingga kelangsungan Negara itu harus dipertahankan. Oleh karenanya keluarlah kebijakan itu supaya dengan masuknya warga Negara sebagai peserta BPJS otomatis itu akan mendatangkan pendapatan kepada Negara.
Tapi sebenarnya itu masih sangat kecil, sebab masih banyak dari sektor-sektor yang lain yang bisa dijadikan sebagai pendapatan Negara. Misalnya: dari PBB, dari sektor PBB inipun masih belum tergali semuanya karena disetiap daerah itu belum 100% memiliki PBB. Ada mungkin yang baru 30%,50% bahkan baru 60%.
Nahkata Iin AbdulJalil, coba kalau digali dari sektor PBB.Misalnya Bupati menginstruksikan Camat terkait pendaftaran lahan. Dengan didaftarkannya pendaftaran lahan melalui PBB, pastinya itu akan masuk Pendapatan Asli Daerah (PAD). Maka dari sektor PBB itu masih banyak apalagi misalnya dana-dana para Konglomerat yang disimpan di luar.
Maka menurut hemat Iin Abdul Jalil,sekali lagi BPJS tidak ada korelasinya dengan bidang Pertanahan. Kecuali bila yang melampirkan BPJS itu bisa misalkan dibebaskan tunggakannya. Jadi intinya kalau menurut saya kurang setuju terhadap kebijakan tersebut.
Diterangkannya kembali, kalau memang Inpres No.1 Tahun 2022 tersebut sudah diberlakukan di masyarakat,maka baiknya Inpres tersebut dikaji ulang saja oleh Pemerintah sebab kenyataannya kan masyarakat tidak menerima dengan adanya Inpres No.1 Tahun 2022 tersebut.
Seyogyanya hemat saya sebelum Inpres No.1 Tahun 2022 tersebut diterapkan di masyarakat, jauh-jauh hari Pemerintah harus mengkaji dulu dengan seksama dasarnya dari mana sampai terbit INPRES tersebut,apakah dari UUD 1945, TAP MPR atau darimana, jangan “ujug-ujug” sekonyong-konyong” langsung diberlakukan begitu saja. Kalau tidak berdasar ya berarti inkonstitusional dong disebutnya.
Saran saya kepada Pemerintah dan wakil rakyat, jika mau membuat suatu Kebijakan Peraturan Perundang-undangan maka idealnya ya harus dimusyawarahkan terlebih dulu dengan matang dan seksama, lalu melalui kajian akademik bersama pihak-pihak terkait dan berkompeten, legislasi di DPR, sehingga ada tahapannya mestinya. Komisi yang membidangi hal tersebut diajak bicara terlebih dulu. Pressiden tidak boleh semena-mena membikin INPRES No.1 Tahun 2022.
Akan lebih tepat, ungkap Iin Abdul Jalil, apabila Pemerintah bersama DPR menggandeng PP INI dan PP IPPAT untuk duduk satu meja membicarakan soal INPRES 1 Tahun 2022, itu baru bisa dikatakan ada korelasinya jika nantinya INI-IPPAT disini diajak bicara. (ted/jay/red)