Wasiat Menurut Pandangan Hukum Waris Islam, Adat dan KUHPerdata

BANDUNG –  Perkawinan seringkali  menimbulkan akibat hukum tersendiri bagi keluarga yang menjalani. Apalagi kalau bukan soal harta warisan yang berhubungan dengan wasiat dari orang yang meninggal dunia. Untuk mengupas benang kusut soal itu, pada hari Sabtu, (27/6/2020) lalu Pengurus Wilayah Ikatan Notaris Indonesia Jawa Barat (Pengwil INI Jabar) menyelenggarakan acara kegiatan Webinar yang bekerja sama dengan Pengurus Daerah Ikatan Notaris Indonesia Kota Bandung, Kabupaten Bandung, Kabupaten Bandung Barat, Kab Sumedang dan Kota Cimahi yang berada diWilayah I Jabar dan besama Fakultas Hukum Universitas Katolik Parahyangan. Acara dengan mengusung tema: “Wasiat dalam Perspektif Hukum Islam, Hukum Adat & KUHPerdata Burgerlijk Wetboek (BW)”. Webinar kali ini dihadiri oleh kurang lebih 600 peserta dari sekitar 850 yang mendaftar .

Pemateri sesi kedua ini dihadirkan sebagai Panelis adalah Prof. Dr.  Rr. Catharina Dewi Wulansari , S.H., M.H., Ph.D., S.E., M.M. (Guru Besar FH Unpar), Hendra Hudaya, Lc., M.Pd. (Executive Consultant & Trainner Syariah Waris Center), Yanly Gandawidjaja, S.H., M.Hum., Sp.1. (Notaris/Akademisi FH Unpar). Acara ini di pandu moderator yang tidak aaing lagi dikalangan notaris-PPAT Bandung dan jawa barat yaitu  H. Boy Budiman Iskandar, S.H., Sp.N., M.Hum dan  Dr. Debiana Dewi Sudradjat, S.H., M.Kn serta didukung  oleh Tim Perumus : Dr.. Hj. Rianda Riviyusnita, S.H., M.Kn.

Hendra Hudaya,Lc,M.Pd

Dalam kaca mata Hukum Islam, terdapat aturan-aturan yang berbeda-beda tentang wasiat, dan tentunya tergantung kepada madzhab yang dianut. Sedangkan menurut kaca mata hukum perdata, ada aturan khusus yang mengatur wasiat, terutama kaitannya dengan pembagian harta warisan. Aturan tersebut tercantum dalam KUH Perdata. “Wasiat menurut Islam, memberikan sesuatu kepada seseorang setelah meninggal dunia diperbolehkan, tetapi tidak diwajibkan,” kata Hendra Hudaya. Lc. MPd mengawali paparannya dlm webnar.

Lebih lanjut Hendra Hudaya, mengatakan bahwa perbedaan pendapat tentang pemberian wasiat berupa harta kepada bukan ahli waris. Sebagian ulama berpendapat bahwa wasiat berupa harta boleh diberikan kepada orang lain atas seizin ahli waris. Adapun sebagian ulama lain tidak memperbolehkannya. Karena dalam Islam, bahwa wasiat yang wajib dilaksanakan oleh ahli waris adalah wasiat yang ditujukan memenuhi hak-hak orang lain selama pewaris masih hidup, misalkan contohnya adalah wasiat untuk melunasi utang, dan wasiat seperti ini akan diutamakan terlebih dahulu sebelum menuntaskan pembagian warisan.

Selanjutnya Hendra Hudaya katakan beberapa syarat pewasiat, antara lain yaitu; baligh dan berakal sehat, atas kemauan sendiri, boleh Non muslim tetapi asal yang diwasiatkan perkara halal. Dan tidak semua wasiat bisa dilaksanakan oleh ahli waris.

Yanly Gandawidjaja,SH,MHum,Sp.I

Dalam Islam pun diatur jelas Hudaya, bahwa jika ada pesan pembagian harta dari surat wasiat yang sah, maka para ulama sepakat bahwa nilainya tidak boleh melebihi dari sepertiga hartanya. Hal tersebut bertujuan melindungi para ahli waris yang ditinggalkan. Apabila lebih, maka untuk kelebihan dari 1/3 harus atas seijin ahli waris.  Wasiat tidak boleh diberikan pada salah satu ahli waris, kecuali atas seijin ahli waris lain.

‘Harta yang diwasiatkan juga boleh berupa benda yang sudah ada atau yang belum ada seperi wasiat buah dari pohon yang belum berbuah.  Atau, boleh juga berupa benda yang sudah diketahui atau tidak diketahui seperti susu dalam perut sapi. Dan terakhir, harta benda yang diwasiatkan harus merupakan hak dari pewasiat,” kata penulis buku berjudul Fiqih Waris ini.

Bicara  soal sifat wasiat, Hendra Hudaya mengutarakan dalam Islam menurut sifatnya wasiat terbagi dua, yaitu umum dan khusus. Yang sifatnya umum ; seperti wasiat untuk pembangunan masjid. Maka syaratnya adalah tidak boleh untuk hal yang mengandung dosa sementara yang sifatnya khusus; yaitu wasiat kepada orang tertentu: dimana penerima wasiat hidup, penerima wasiat diketahui jelas identitas. Dan secara khusus pula, seseorang dapat memiliki wasiat tapi si penerima wasiat tidak membunuh pewasiat.  Dan yang terakhir, penerima wasiat menerima (ijab qabul) pemberian wasiat dari pewasiat.

Selanjutnya Hendra Hudaya tegaskan bahwa Hukum wasiat tergantung kondisi orang yang menyampaikannya. Ketentuannya adalah pertama, menyampaikan wasiat hukumnya wajib jika mempunyai kewajiban syara’ yang dikhawatirkan akan disiasiakan bila dia tidak berwasiat. Kedua, berwasiat hukumnya sunnah, jika diperuntukkan bagi kebajikan, karib kerabat, orang-orang fakir dan orang-orang saleh. Ketiga, berwasiat itu hukumnya  makruh, jika yang berwasiat memiliki sedikit harta, sedang dia mempunyai ahli waris yang membutuhkan hartanya. Dan keempat berwasiat hukumnya bisa menjadi  Haram, jika melebihi 1/3 atau ditujukan kepada ahli waris. Dan kelima wasiat bisa menjadi   Mubah, jika berwasiat kepada orang kaya, baik kerabat maupun non kerabat

Berdasarkan ketentuan wasiat, menurut Hendra Hudaya, pewasiat boleh meralat atau mengubah isi wasiat. Dan dianjurkan tidak boleh wasiat harta melebihi sepertiga dari jumlah total kekayaan. Bahkan yang terbaik adalah mencukupkan diri dengan berwasiat seperlima dari jumlah total kekayaannya.  Dalam Islam, lanjut Hendra Hudaya justru orang yang sama sekali tidak memiliki ahli waris diperbolehkan berwasiat dengan seluruh hartanya.

Namun lanjut Hendra Hudaya, bisa jadi wasiat itu di gugurkan. Adapun penggugur pembatalan dari pewasiat  adalah karena adanya penolakan dari penerima wasiat. Aatau bisa jadi dikarenakan pembunuhan yang dilakukan penerima wasiat.  terhadap pewasiat. Dan sebagai catatan, bahwa dalam webinar kali ini adalah perbedaan agama tidak menjadi penggugur wasiat.

Selanjutnya versi soal wasiat menurut kacamata hukum adat, yang disampaikan Prof.  Dr. Rr. Catharina Dewi Wulansari, Ph.D, SH.MH.SE.MM Guru Besar Universitas Katolik Parahyangan dan Pembina Asosiasi Pengajar Hukum Adat Indonesia dalam “Pejelasannya dan Implikasi Wasiat Menurut Hukum Adat di Jawa Barat” mengemukakan bahwa wasiat menurut hukum adat masyarakat Jawa Barat merupakan cara melaksanakan pewarisan yang sering disebut dengan “ welingan bakal’. Dengan demikian Wasiat ini merupakan perbuatan hukum yang pelaksanaannya di wadahi atas ketentuan hukum yang bersumber pada hukum adat.

Prof.Dr.Rr.Catharina Dewi Wulansari,SH,MH,SE,MM

Dan tujuan wasiat menurut hukum adat Jawa Barat, lanjut Catharina Dewi, mewajibkan para ahli waris membagi harta peninggalannya dengan cara yang layak menurut anggapan pewaris.  Dan ini merupakan satu upaya, mencegah perselisihan dan keributan dalam membagi harta peninggalan.  Selain itu juga menurut Chatarina, di kemudian hari diantara para ahli waris menjadi alat yang mengikat bagi Si peninggal wasiat terhadap barang harta warisan agar terikat pada wasiat yang dibuat sebagai Penyeimbang terhadap ketentuan hukum waris yang dipandang tidak adil atau tidak memuaskan Si Pewaris. Dalam hal ini,  mewajibkan para ahli waris untuk menghormati wasiat walaupun dapat menyimpang dari ketentuan hukum waris.

“Wasiat bisa dilakukan baik secara lisan maupun tertulis, sekalipun mengunakan hukum adat sebaiknya pembuatan Wasiat sepatutnya dibuktikan dengan bukti tertulis dan bisa juga dengan lisan. Jikalau dengan lisan sebaiknya disertakan dengan pengesahan dari Pengadilan negeri.  Sementara surat wasiat yang tertulis harus ditunjukkan dengan bukti Akta yang dapat dipertanggungjawabkan,”  jelas Guru Besar Unpar ini.

Dan Bilamana Tidak Dibuat Dihadapan Notaris, Maka Sipembuat Wasiat Yang Menulis Sendiri Surat Wasiatnya dan dapat Menyerahkan Surat Wasiat Itu Kepada Notaris Setelah ditanda tangani. Dalam hal ini membuat akta wasiat, Notaris dapat menulis Hibah Wasiat yang disaksikan oleh dua orang saksi, Hibah Wasiat yang memperoleh bentuk akta Notaris disebut Testamen.  Meskipun demikian  Sudah Berbentuk Testamen, sah atau tidaknya isi hibah wasiat tersebut tetap dikuasai oleh hukum adat materil,” ucap nya

Selanjutnya di kesempatan acara penyampaian materi terakhri Yanly Gandawidjaja, S.H., M.Hum., Sp.1. Sebagai Notaris/Akademisi FH Unpar, menjelaskan soal pemahaman wasiat menurut hukum perdata. Wasiat menurut Yanly tidak harus dijalankan jika surat dianggap wasiat tidak sah di mata hukum atau tidak memiliki kekuatan hukum yang jelas. Sebaliknya, jika surat wasiat memiliki kekuatan hukum yang sah, maka wasiat tersebut harus dijalankan dan ditaati oleh ahli waris yang ditinggalkan.

Wasiat (testament) yaitu suatu pernyataan dari seseorang tentang apa yang dikehendakinya setelah ia meninggal dunia. Pada asasnya suatu pernyataan yang demikian adalah keluar dari satu pihak saja (eenzijdig) dan setiap waktu dapat ditarik kembali oleh yang membuatnya. Wasiat tidak boleh bertentangan dengan Undang-undang. pembatasan pernyataan dalam wasiat penting,terutama dalam hal bagian mutlak hak waris (legitime portie).

Dan seorang pembuat wasiat (testament) tentuny harus mempunyai budi akalnya, yang artinya tidak boleh sakit ingatan dan orang yang memiliki sakit berat,sehingga ia tidak dapat berpikir secara teratur (Pasal 895 KUH Perdata), serta minimal berusia 18 tahun (Pasal 897 KUH Perdata). Namun demikian, bukan berarti surat wasiat dapat memindahkan hak para ahli waris. Namun, wasiat tersebut tetap dapat didahulukan sesuai dengan kehendak pewaris. Hak-hak yang menjadi bagian ahli waris pun tidak dapat digeser dengan surat wasiat yang sah berdasarkan hukum perdata. Karena hal tersebut sudah diatur dalam pasal 913 KUHPerdata dengan jelas tentang bagian mutlak para ahli waris yang tidak bisa digeser oleh wasiat sekalipun.

Adapun soal wasiat pembagian harta pun, menurut Yanly, sudah diatur dalam Undang-undang perdata. Secara garis besar, isi wasiat tidak boleh memberikan harta di luar ahli waris dengan porsi melebihi bagian ahli waris yang sah menurut Undang-undang.

Dalam hal pembuatan surat wasiat, kata Dosen Notariat Unpad Bandung ini perlu adanya saksi dengan ketentuan sebagai berikut: pada pembuatan surat wasiat olografis dibutuhkan dua orang saksi. Namun prosesnya adalah sebagai berikut, pada saat pewaris menitipkan surat waris, kemudian notaris langsung membuat akta penitipan (akta van de pot) yang ditandatangani oleh notaris, pewaris, serta dua orang saksi dan akta itu harus ditulis di bagian bawah wasiat itu bila wasiat itu diserahkan secara terbuka, atau di kertas tersendiri bila itu disampaikan kepadanya dengan disegel.

Sedangkan,  pada pembuatan surat wasiat dengan akta umum dibutuhkan dua orang saksi. Proses pembuatan surat wasiat dengan akta umum dilakukan di hadapan notaris yang kemudian ditandatangani oleh pewaris, notaris dan dua orang saksi.

Sementara, didalam pembuatan surat wasiat dengan keadaan tertutup dibutuhkan empat orang saksi. Prosesnya yaitu pada saat penyerahan kepada notaris, pewaris harus menyampailkannya dalam keadaan tertutup dan disegel kepada Notaris, di hadapan empat orang saksi, atau dia harus menerangkan bahwa dalam kertas tersebut tercantum wasiatnya, dan bahwa wasiat itu ditulis dan ditandatangani sendiri, atau ditulis oleh orang lain dan ditandatangani olehnya.

Adapun Syarat pembuatan wasiat, lanjut Yanly menurut Pasal 895 KUHPerdata menyatakan pembuat testamen atau Wasiat harus mempunyai budi akalnya, artinya tidak boleh membuat testament ialah orang sakit ingatan dan orang yang sakitnya begitu berat, sehingga ia tidak dapat berpikir secara teratur. Sebagaimana syarat isi wasiat menurut, Pasal 888 KUHperdata menyatakan jika Testament memuat syarat-syarat yang tidak dapat dimengerti atau tidak mungkin dapat dilaksanakan atau bertentangan dengan kesusilaan , maka dalam hal ini harus dianggap tidak tertulis. Sedangkan jika mengacu pada Pasal 890 KUHperdata dinyatakan jika didalam testamen disebut sebab yang palsu, dan isi dari testamen itu menunjukkan bahwa Pewaris tidak akan membuat ketentuan itu jika ia tahu akan kepalsuannya maka testamen tidak sah.

Selanjutnya Yanly katakan bahwa berdasarkan Pasal 893 KUHperdata menyatakan suatu Testamen akan batal, jika dibuat dengan paksa, tipu atau muslihat. Karena memang ada larangan yang bersifat umum lainnya adalah larangan membuat ketentuan sehingga legitime portie ( Pasal 914 KUHPerdata) menjadi kurang dari semestinya.

Terkait dengan kewajiban Notaris, terhadap wasiat, Notaris bisa melaksanakan pembukaan surat Wasiat Tertutup atau rahasia dan pendaftaran surat wasiat umum sesuai dengan Pasal 937, 942 KUH Perdata, (jo. pasal 41, 42 O.V. dan berdasarkan Undang-undang No.30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris Pasal 16 ayat 1 huruf h dan I, kewajiban Notaris adalah membuat Daftar Akta yang berkenaan dengan wasiat dan melaporkannya setiap bulan paling lambat 5 (lima) hari pada minggu pertama kepada Menteri Hukum dan HAM R.l., Cq. Direktorat Jenderal Administrasi Hukum Umum, Cq .Direktorat Perdata, Cq. Kepala Seksi Daftar Pusat Wasiat, sekalipun tidak ada kewajiban untuk membuat tembusan laporan kepada BHP namun pada kenyataan Balai Harta Peninggalan banyak menerima dari Notaris menyangkut tembusan laporan wasiat umum dimaksud.

Menurut pasal 938, menurut Yanly, wasiat dibuat dihadapan Notaris dan dua orang saksi (syarat saksi UUJN dan lihat Pasal. 944 KUHPerdata)  sedangkan dalam pasal  939  KUHPerdata, menyebutkan  Notaris harus menulis atau menyuruh menulis apa adanya kehendak yang disampaikan  dituturkan lugas dengan kata-kata yang jelas pembuat Wasiat kepada Notaris.

Setelah rencana wasiat disiapkan oleh notaris, kata Yanly maka sebelum wasiat tersebut dibacakan, pembuat wasiat harus sekali lagi menuturkan kehendaknya di hadapan para saksi. Kemudian, dengan dihadiri saksi-saksi, notaris harus membacakan surat tadi, setelah mana kepada pembuat wasiat harus ditanya, apakah benar yang dibacakan tadi memuat kehendaknya. Dan, jika wasiat yang dituturkan di depan para saksi dibenarkan memuat kehendak pewaris, maka dilakukan pembacaan dan penanyaan yang sama harus dilakukan juga. Setelah itu surat wasiat harus ditandatangani oleh pembuat wasiat, notaris dan para saksi.

Ahli waris yang sah dalam hukum perdata adalah orang yang mempunyai hubungan darah dengan pewaris atau pasangan sah pewaris saat masih hidup. Jika pewaris tidak memiliki pasangan atau anak, maka ditarik garis keturunan ke atas, seperti orang tua, kakek dan nenek pewaris. Pada prinsipnya, menurut Yanly, terdapat pandangan yang sejalan antara Agama Islam dan Hukum Perdata di Indonesia tentang wasiat. Wasiat diperbolehkan selama tidak mengesampingkan hak-hak ahli waris.

“Dalam hal adanya penolakan dalam hal waris seorang ahli waris dapat menolak warisan yang terbuka baginya. Dan apabila terjadi penolakan, maka saat itu mulai berlakunya penolakan dianggap terjadi sejak hari meninggalnya si pewaris jadi berlaku surut (Pasal 1047). Ahli waris yang menolak warisan berarti melepaskan pertanggungjawabannya sebagai ahli waris dan menyatakan tidak menerima pembagian harta peninggalan. Didalam Pasal 1057 Menyatakan sebagai berikut: “Menolak suatu warisan harus terjadi dengan tegas, dan harus dilakukan dengan suatu penyataan yang dibuat di kepaniteraan Pengadilan Negeri, yang dalam daerah hukumnya  telah terbuka warisan itu”,” ujar Yanly.

Apabila kita melihat dari pasal diatas, menurut Yanly ketika seorang ahli waris menolak untuk menerima suatu warisan, maka si pewaris yang menolak tersebut harus memberikan suatu pernyataan dengan tegas, bahwa warisan itu ditolaknya dan hal tersebut harus dilakukan menghadap pengadilan di pengadilan negeri. Namun apabila si penolak warisan tidak bisa datang sendiri, maka bisa dikuasakan kepada orang lain. Akan tetapi surat kuasa tersebut haruslah notariil.

Dalam paparan terakhirnya, Yanly mengingatkan soal pembuatan wasiat, menurut KUHPerdata  dimana ada beberapa pembatasan antara lain ; tidak boleh pengangkatan waris atau hibah wasiat lompat tangan (fidei-commis),  tidak boleh memberikan wasiat kepada suami atau istri yang menikah tanpa izin, tidak boleh memberikan wasiat kepada istri kedua melebihi bagian yang terbesar yang boleh diterima istri kedua sebagaimana diatur dalam Pasal 852a KUHPerdata.

Selain itu  tidak diperbolehkan, membuat suatu ketetapan hibah wasiat yang jumlahnya melebihi hak pewaris (testateur) dalam harta persatuan, tidak boleh menghibah wasiatkan untuk keuntungan walinya; para guru dan imam; dokter, ahli penyembuhan, ahli obat-obatan dan orang-orang lain yang menjalankan ilmu penyembuhan, yang merawat pewaris selama ia menderita penyakit yang akhirnya menyebabkan ia meninggal; para notaris dan saksi-saksi dalam pembuatan wasiat, dan tidak boleh memberikan wasiat kepada anak luar kawin melebihi bagiannya dalam Pasal 863 KUHPerdata, tidak boleh memberikan wasiat kepada teman berzina pewaris serta larangan pemberian kepada orang yang dijatuhi hukuman karena telah membunuh pewaris, orang yang telah menggelapkan, memusnahkan atau memalsukan surat wasiat pewaris, atau orang yang dengan paksaan atau kekerasan telah menghalangi pewaris untuk mencabut atau mengubah surat wasiatnya, serta isteri atau suaminya dan anak-anaknya.  (ted/red)