Semarang, Indonesiapublisher.com – Notaris merupakan jabatan terhormat, karena ada sebuah kepercayaan yang diberikan oleh pemerintah untuk mengurus tugas di bidang hukum keperdataan mengenai tulisan dalam akta otentik sebagai alta bukti tertulis. Notaris adalah pejabat umum yang berwenang untuk membuat akta otentik dan kewenangan lainnya sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris (UUJN).
Demikian dikemukakan oleh Ketua Pengurus Wilayah Jawa Barat Ikatan Notaris Indonesia (Pengwil Jabar INI), Dr.H. Irfan Ardiansyah,SH,LLM,SpN saat menjadi Narasumber di acara Simposium Nasional dengan mengusung tema bertajuk “Tinjauan Ultimatum Remidium Untuk Alat Bukti dan Upaya Perlindungan Hukum Terhadap Pelaksanaan Jabatan Notaris Komparatif Law (DalamMasalah Perdata, Pidana dan Administrasi Negara) yang digelar oleh Pengurus Wilayah Jawa Tengah INI di Ball Room Rama Shinta hotel Patrajasa, Kota Semarang, Jawa Tengah pada Sabtu (18/9/2021).
Lebih lanjut Irfan Ardiansyah menguraikan, Notaris dalam menjalankan tugas dan fungsinya oleh undang-undang adalah dalam rangka memberikan pelayanan hukum kepada masyarakat untuk mendapatkan perlindungan hukum. Wewenang notaris untuk mengeluarkan akta notaris menjadi alat bukti yang kuat dan mampu memberikan jaminan, ketertiban serta perlindungan hukum kepada masyarakat. Notaris mempunyai peran serta dalam aktivitas menjalankan profesi hukum yang tidak dapat dilepaskan dari persoalan-persoalan mendasar yang berkaitan dengan fungsi serta peranan hukum untuk mengatur dan memiliki andil untuk menertibkan masyarakat sehingga Notaris diharapkan bertindak untuk merefleksikan tujuan hukum dalam bidang pelayanan kepada masyarakat .
Mengingat peran strategis notaris dalam mewujudkan tujuan hukum, maka diperlukan suatu kajian terkait perlindungan hukum terhadap notaris dari kemungkinan kesalahan yang dilakukan oleh notaris dalam kafasitas jabatannya dengan menjungjung tinggi prinsip ultimum remidium. (sanksi hukum sebagai upaya terakhir)
Pembahasan.
- Kedudukan Notaris.
Kedudukan Notaris sebagai pejabat umum, dalam arti kewenangan yang ada pada Notaris tidak pernah diberikan kepada pejabat-pejabat lain, sepanjang kewenangan tersebut tidak menjadi kewenangan pejabat-pejabat lain dalam membuat akta otentik dan kewenangan lain maka kewenangan tersebut menjadi kewenangan Notaris.
Selanjutnya ketentuan Pasal 15 ayat (1) UUJN menentukan bahwa “kewenangan utama Notaris yaitu untuk membuat akta autentik mengenai perbuatan, perjanjian, dan penetapan yang diharuskan oleh peraturan perundang-undangan dan/atau yang dikehendaki oleh pihak yang berkepentingan”. Notaris diberikan tugas jabatan untuk membuat akta autentik sebagai alat bukti berdasarkan permintaan yang dikehendaki para pihak mengenai suatu perbuatan hukum tertentu dalam lingkup hukum perdata. Pembuatan akta autentik oleh Notaris didasarkan pada keterangan atau pernyataan para pihak yang dinyatakan, diterangkan atau diperlihatkan kepada Notaris, dimana Notaris selanjutnya mengkonstatir secara lahiriah, secara formal, dan secara materiil dengan tetap berpedoman pada prosedur pembuatan akta serta peraturan perundang-undangan terkait lainnya yang mengatur tentang perbuatan hukum yang akan dituangkan dalam akta.
Notaris sebagai seorang pejabat umum yang bertanggungjawab (open baarambtenaar) untuk membuat surat keterangan tertulis sebagai bukti dari perbuatan-perbuatan hukum. Akta Notaris sebagai alat bukti otentik mempunyai kekuatan pembuktian yang sempurna sehingga tidak perlu dibuktikan atau ditambah dengan alat buktilainnya. Bila ada orang atau pihak yang menyatakan bahwa akta tersebut tidak benar maka orang atau pihak yang menyatakan tidak benar tersebut wajib membuktikan pernyataannya sesuai dengan aturan hukum yang berlaku, dan sepanjang akta notaris tidak dapat dibuktikan ketidakbenarannya maka akta tersebut merupakan akta otentik yang memuat keterangan yang sebenarnya dari para pihak.
Dikemukakan lagi oleh Irfan, Akta Notaris mempunyai 3 (tiga) kekuatan pembuktian, yaitu :
- Kekuatan pembuktian lahiriah, dalam arti akta notaris membuktikan sendiri keabsahannya sebagai akta otentik. Beban pembuktian ada pada pihak yang menyangkal ke-otentikan akta notaris. Nilai pembuktian akta notaris dari aspek lahiriah, akta tersebut harus dilihat apa adanya bukan dilihat ada apa. Pembuktian tersebut harus dilakukan memalui upaya gugatan kepengadilan. Penggugat harus bisa membuktikan bahwa secara lahiriah akta tersebut bukan akta otentik.
- Kekuatan pembuktian formal, dalam artian aktan otaris harus memberikan kepastian bahwa suatu kejadian dari fakta tersebut dalam akta betul-betul dilakukan oleh notaris atau diterangkan oleh pihak-pihak yang menghadap kepada notaris pada saat yang tercantum dalam akta sesuai dengan prosedur yang sudah ditentukan dalam pembuatan akta. Secara formal untuk membuktikan kebenaran dan kepastian tentang hari, tanggal, bulan, tahun, pukul menghadap, dan para pihak yang menghadap, paraf dan tandatangan para pihak atau penghadap, para saksi dan notaris serta membuktikan apa yang dilihat, disaksikan, didengar oleh notaris dan mencatatkan keterangan atau pernyataan para pihak atau penghadap.
- Kekuatan pembuktian materil, dalam artian akta notaris menjamin kepastian tentang materi suatu akta karena apa yang tersebut dalam akta merupakan pembuktian yang sah terhadap pihak-pihak yang membuat akta atau mereka yang mendapat hak dan berlaku untuk umum, kecuali ada pembuktian sebaliknya. Keterangan atau pernyataan para penghadap yang dituangkan dalam akta harus dinilai telah berkata dengan benar. Jika ternyata peryataan atau keterangan para penghadap tersebut tidak benar maka hal tersebut menjadi tanggungjawab para pihak itu sendiri. Notaris terlepas dari hal semacam itu dengan demikian isi akta notaris mempunyai kepastian sebagai yang sebenarnya dan menjadi bukti yang sah untuk atau diantara para pihak.
- Pertanggung Jawaban Hukum
Jabatan Notaris sebagai pejabat umum dalam menjalankan jabatannya tidak terlepas dari kemungkinan melakukan suatu kesalahan atau perbuatan melanggar hukum, dan dalam praktiknya notaris dapat dimintai pertanggungjawabannya. Berdasarkan Undang-Undang Jabatan Notaris dan Kode Etik Notaris, ditentukan bahwa apabila terdapat Notaris yang dalam menjalankan jabatannya terbukti melakukan pelanggaran, maka Notaris yang bersangkutan wajib untuk bertanggungjawab atas tindakannya tersebut dengan cara dijatuhi sanksi, baik itu berupa sanksi perdata, sanksi administratif, maupun sanksi pidana. Jadi bentuk pertanggungjawaan dari jabatan Notaris yaitu berupa pengenaan sanksi.[1]
Pelanggaran terhadap Undang-Undang Jabatan Notaris akan berakibat timbulnya pertanggungjawaban dari pengemban jabatan Notaris, baik itu berupa pertanggungjawaban perdata dan pertanggungjawaban administratif sebagaimana yang telah dijelaskan sebelumnya. Selain dua jenis pertanggungjawaban tersebut, dalam praktik ditemukan fakta bahwa Notaris yang melakukan pelanggaran terhadap peraturan jabatannya juga dapat dikualifikasikan sebagai suatu tindak pidana, sehingga tidak jarang Notaris juga dapat dimintai pertanggungjawabannya secara pidana.[2]
Pertanggungjawaban hukum secara umum menyatakan bahwa setiap orang yang melakukan perbuatan melanggar hukum, tidak dikecualikan kepada pemerintah maupun suatu jabatan, harus mempertanggungjawabkan setiap tindakannya tersebut, baik karena adanya kesengajaan, kelalaian atau tanpa kesalahan. Dari adanya pertanggungjawaban tersebut kemudian akan melahirkan beberapa bentuk pertanggungjawaban hukum diantaranya berupa tanggung jawab perdata, tanggung jawab administratif, dan tanggung jawab pidana.
Sebagai bentuk tanggung jawab, maka jabatan notaris dapat saja mendapatkan sanksi, yang dalam UUJN menyebutkan jenis-jenis sanksi yang dimaksud :
- Sanksi Administratif
Sanksi administratif yang dijatuhkan terhadap notaris yang melanggar kewajiban dan larangan UUJN terdiri atas peringatan tertulis, pemberhentian sementara, pemberhentian dengan hormat, dan pemberhentian dengan tidak hormat. Sanksi administratif dapat dijatuhkan kepada notaris karena melanggar ketentuan Pasal 7 ayat (1), Pasal 16, Pasal 17, Pasal 19, Pasal 32, Pasal 37, Pasal 54, Pasal 58, dan Pasal 59, UUJN.
Pengaturan sanksi administratif dalam UUJN yaitu dengan menetapkan teguran tertulis untuk urutan pertama pemberian sanksi, yang merupakan suatu peringatan kepada notaris dari Majelis Pengawas Notaris dan apabila tidak dipenuhi selanjutnya ditindaklanjuti dengan pemberhentian sementara, yang apabila sanksi tersebut tidak dipenuhi maka dapat dijatuhi sanksi berikutnya secara berjenjang. Penerapan ketentuan pasal-pasal tersebut di atas harus memperhatikan tingkat ringan beratnya pelanggaran yang dilakukan notaris.
Selain sanksi yang ditetapkan dalam UUJN ada juga sanksi yang diatur dalam Kode Etik Notaris. Notaris dapat dikenakan sanski kode etik apabila melanggar Pasal 4 Kode Etik Notaris. Pengaturan tentang sanksi dalam kode etik dapat ditentukan dalam Pasal 6. Sanksi yang dapat dikenakan terhadap anggota ikatan Notaris Indonesia berupa teguran, peringatan pemecatan sementara dan pemecatan dari keanggotaan perkumpulan.
- Sanksi Perdata
Sanksi Perdata terhadap Notaris yang melanggar ketentuanPasal 16 ayat (1) huruf m, Pasal 41 dengen menunjuk kepada Pasal 38, Pasal 39, dan Pasal 40, Pasal 48, Pasal 49, Pasal 50, Pasal 51 dan Pasal 84 UUJN. Sanksi perdata sebagaimana dijelaskan dalam pasal-pasal tersebut di atas adalah berupa penggantian biaya, ganti rugi dan bunga yang merupakan akibat yang akan diterima oleh notaris dari gugatan para pihak apabila akta yang bersangkutan hanya mempunyai kekuatan pembuktian sebagai akta di bawah tangan. Penggantian biaya, ganti rugi atau bunga dapat digugat kepada notaris namun terlebih dahulu harus dapat dijelaskan Batasan-batasan atau pasal-pasal manakah yang telah dilanggar oleh notaris dan harus mendasarkan adanya suatu hubungan hukum antara notaris dengan para pihak.
Pasal 1869 KUH Perdata menentukan batasan akta notaris yang mempunyai kekuatan pembuktian sebagai akta di bawah tangan dapat terjadi jika memenuhi ketentuan :
- Karena tidak berwenangnya pejabat umum yang bersangkutan,
- Tidak mampunyai pejabat umum yang bersangkutan dan cacat dalam bentuknya.
Akta di bawah tangan mempunyai kekuatan pembuktian yang sah jika pembuat akta tersebut mengakui isi akta serta tandatangan yang ada pada akta tersebut. Kecuali untuk akta yang dalam bentuknya telah ditentukan oleh undang-undang (untuk perjanjian formil), seperti pendirian perseroan terbatas, akta jaminan fidusia, hibah, surat kuasa membebankan hak tanggungan, apabila tidak dibuat dalam bentuk yang telah di tentukan maka perjanjian tersebut menjadi non exsistent, dalam artian perjanjian tersebut dianggap tidak ada.[3]
- Implikasi Hukum dari Akta
Setiap menjalankan tugas jabatannya dalam membuat suatu akta, seorang Notaris memiliki tanggung jawab terhadap akta yang dibuatnya sebagai suatu realisasi keinginan para pihak dalam bentuk akta autentik. Tanggung jawab notaris, berkaitan erat dengan tugas dan kewenangan serta moralitas baik sebagai pribadi maupun selaku pejabat umum. Notaris mungkin saja melakukan kesalahan atau kekhilafan dalam pembuatan akta. Apabila ini terbukti, akta kehilangan otentisitasnya dan batal demi hukum atau dapat dibatalkan. Dalam hal ini apabila menimbulkan kerugian bagi pihak yang berkepentingan dengan akta tersebut, Notaris dapat dituntut secara pidana atau pun digugat secara perdata. Sanksi yang dikenakan secara pidana adalah menjatuhkan hukuman pidana dan sanksi secara perdata adalah memberikan ganti rugi kepada pihak yang berkepentingan tersebut.[4]
Notaris dalam menjalankan jabatannya dapat melakukan kesalahan atau pelanggaran terhadap kewajiban dan larangan notaris sebagaimana diatur dalam Pasal 16 dan 17 UUJN, dapat dikenakan sanksi baik berupa sanksi perdata, sanksi administrasi, sanksi kode etik maupun sanksi pidana. Sanksi perdata pada umumnya merupakan saknsi yang diberikan atas pelanggaran hokum privat/perdata. Sanksi administrative merupakan sanksi yang timbul dari hubungan antara pemerintah (melalui lembaga yang berwenang) dan warganya. Tanpa perantara hakim saksi dapat dijatuhkan oleh pemerintah.
Sanksi kode etik dapat dijatuhkan kepada notaris yang melakukan pelanggaran kode etik notaris. Sanksi tersebut dijatuhkan oleh Dewan Kehormatan Notaris. Mengenai sanksi pidana karena tidak diatur dalam UUJN maka sanksi pidana akan dikenakan jika notaris dalam menjalankan tugas dan jabatannya telah memenuhi unsur-unsur delik tertentu suatu tindak pidana berdasarkan KUHP. Sanksi merupakan alat pemaksa, selain hukuman juga untuk mentaati ketetapan dalam peraturan. Sanksi pada hakikatnya merupakan instrumen yuridis yang biasanya diberikan apabila kewajiban-kewajiban atau larangan-larangan yang ada dalam ketentuan hukum telah dilanggar.
Masih menurut Irfan, bahwa Notaris sebagai pejabat umum pembuat akta otentik jika terjadi kesalahan baik disengaja maupun karena kelalaiannya mengakibatkan orang lain (akibat dibuatnya akta) menderita kerugian, di sini notaris telah melakukan perbuatan melanggar hukum. Jika suatu kesalahan yang diakukan oleh notaris dapat dibuktikan maka notaris dapat dikenakan sanksi berupa ancaman sebagaimana dimaksud dalam Pasal 84 UUJN yang menetapkan bahwa dapat menjadi alasan bagi pihak yang menderita kerugian untuk menuntut penggantian biaya, ganti rugi dan bunga kepada notaris.
Ganti rugi atas dasar perbuatan melanggar hukum di dalam hukum perdata diatur dalam Pasal 1365 KUHPerdata yang menentukan “tiap perbuatan melanggar hukum yang membawa kerugian kepada orang lain, mewajibkan orang yang karena salahnya menerbitkan kerugian itu, mengganti kerugian tersebut”. Apabila memperhatikan ketentuan Pasal 1365 KUHPerdata didalamnya mengandung unsur-unsur sebagai berikut :
1) perbuatan yang melanggar hukum,
2) harus ada kesalahan,
3) harus ada kerugian, dan
4) adanya hubungan sebab akibat antar kesalahan dengan kerugian.
Kesalahan dalam perbuatan melanggar hukum dalam hukum perdata tidak membedakan antara kesalahan yang ditimbulkan karena kesengajaan melainkan juga karena kesalahan atau kekurang hati-hatian. Ketentuan ini sesuai dengan yang dikemukanan oleh Riduan Syahrani, yaitu “tidak kurang hati-hati.”[5] Notaris yang membuat akta tidak sesuai dengan kewenangannya dapat terjadi karena kesengajaan maupun karena kelalaiannya, yang berarti telah salah sehingga unsur harus ada kesalahan telah terpenuhi.
Kekuatan mengikat suatu perjanjian dengan ditemukannya landasan hukumnya dalam bunyi Pasal 1338 ayat ( 1 ) KUH Perdata : ”Semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang – undang bagi mereka yang membuatnya” Pasal ini merupakan pasal yang dasar suatu perjanjian karena diddalamnya terkandung asas kebebasan berkontrak, demikian pula ketentuan yang terdapat pada Pasal 1320 KUH Perdata atau pada keduanya, Namun, apabila dicermati pasal ini khususnya ayat (1) atau alinea (1), sebenarnya ada tiga hal pokok (asas) yang terkandung di dalamnya, yaitu :[6]
- Pada kalimat ”semua perjanjian yang dibuat secara sah” menunjukan asas kebebasan berkontrak;
b. Pada kalimat ”berlaku sebagai undang – undang” menunjukkan asas kekuatan mengikat atau yang orang sebut asas pacta sun servanda;
c. Pada kalimat ”bagi mereka yang membuatnya” menunjukkan asas personalitas.
Kalimat tersebut merupakan suatu kesatuan yang tidak dapat dipenggal – penggal seperti tersebut diatas. Jadi pemenggalan diatas hanya untuk melihat kandungan dari pada pasal tersebut Ayat (2) atau alinea (2) pasal ini menentukan bahwa perjanjian tidak boleh dibatalkan secara sepihak tanpa persetujuan pihak lain. Hal ini sangat wajar, agar kepentingan piohak lain terlindungi karena ketika perjanjian dibuat adalah atas kesepakatan kedua belah pihak, maka pembatalannya pun harus atas kesepakatan kedua belah pihak. Selain itu, pembatalan secara sepihak hanya dimungkinkan jika ada alasan yang cukup oleh undang – undang. Ayat (3) alinea (2), ini merupakan sandaran asas itikad baik, yaitu bahwa setiap perjanjian harus dilaksanakan dengan itikad baik.[7]
Juga perjanjian tidak hanya mengikat untuk hal–hal yang dengan tegas dinyatakan di dalamnyan tetapi juga untuk segala sesuatu yang menurut sifat perjanjian, diharuskan oleh kepatutan, kebiasaan, atau undang–undang sebagaimana ketentuan Pasal 1339 KUH Perdata. Pasal ini menentukan bahwa dalam suatu perjanjian, para pihak tidak hanya terikat terhadap hal-hal yang secara tegas disetujui dalam perjanjian tersebut, tetapi juga terikat oleh kepatutan, kebiasaan, dan undang – undang. Dengan demikian yang mengikat para pihak dalam perjanjian adalah :
a. Isi perjanjian;
b. Kepatutan;
c. Kebiasaan; dan
d. Undang–undang.[8]
Selanjutnya, atas kesalahan yang dilakukan notaris dalam jabatannya, dapat saja dimintai pertanggungjawaban dalam hukum pidana berupa sanksi pemidanaan terhadap notaris dapat saja dilakukan dengan batasan, jika :[9]
- Ada tindakan hukum dari notaris terhadap aspek formal akta yang sengaja, penuhkesadaran dan keinsyafan serta direncanakan,bahwa akta yang dibuatdihadapannotarisatau oleh notaris bersama-sama (sepakat) untukdijadikan dasar untuk melakukan suatu tindak pidana.
- Ada tindakan hokum dari notaris dalam membuat akta dihadapan atau oleh notaris yang jika diukur berdasarkan UUJN tidak sesuai/ bertentangan dengan UUJN
- Tindakan notaris tersebut tidak sesuai menurut instansi yang berwenang dalam hal ini Majelis Pengawas Notaris.
Penjatuhan sanksi pidana terhadap notaris dapat dilakukan sepanjang batasan-batasan sebagaimana tersebut di atas dilanggar, artinya disamping memenuhi rumusan pelanggaran dalam UUJN dan Kode Etik Notaris juga harus memenuhi rumusan dalam KUHP. Pasal 66 ayat (1) huruf a dan b UUJN yang menyatakan bahwa untuk kepentingan proses peradilan, Penyidik, Penuntut Umum, atau Hakim dengan persetujuan Majelis Pengawas Daerah berwenang untuk :
a. Mengambil fotokopi Minuta Akta dan/atau surat-surat yang dilekatkan pada Minuta Akta atau Protokol Notaris dalam penyimpanan notaris;
b. Memanggil notaris untuk hadir dalam pemeriksaan yang berkaitan dengan akta yang dibuatnya atau Protokol Notaris yang berada dalam penyimpanan notaris.
Sesuai dengan substansi Pasal 66 ayat (1) UUJN, dapat dikatakan bahwa kata “persetujuan” tersebut mempunyai arti bahwa dengan tidak adanya persetujuan maka hal tersebut tidak dapat dilakukan.[10] Oleh karena itu, untuk kepentingan proses peradilan, harus mendapat persetujuan MPD. Hal tersebut menunjukkan adanya kerahasiaan dan bahwa tidak dengan mudah untuk mengambil fotokopi Minuta Akta dan/atau surat-surat yang dilekatkan pada Minuta Akta atau Protokol Notaris dalam penyimpanan Notaris dan memanggil Notaris untuk hadir dalam pemeriksaan yang berkaitan dengan akta yang dibuat atas Protokol Notaris yang berada dalam penyimpanan Notaris.
Selain dari konsekwensi hukum perdata dan pidana berupa pemidanaan, ada pula menerima Sanksi lainnya yang dapat merupakan bentuk Kumulasi Sanksi. Sanksi lainnya dalam hal ini adalah sanksi kode etik dan sanksi pidanaya ng tidak diatur dalam UUJN. Notaris dapat dikenakan sanksi kode etik karena melanggar larangan sebagaimana diatur dalam Pasal 4 Kode Etik Notaris. Pengaturan tentang sanksi dalam Kode Etik Notaris dapat ditemukan dalam Pasal 6. Sanksi yang dapat dikenakan terhadap anggota Ikatan Notaris Indonesia yang melakukan pelanggaran kode etik dapat berupa terguran, peringatan, skorsing (pemecatan sementara) dari keaggotaan perkumpulan dan onsetting (pemecatan) dari keanggotaan perkumpulan.[11]
- Perlindungan Hukum Terhadap Jabatan Notaris.
Perlindungan Hukum terhadap Jabatan Notaris dilakukan dengan suatu mekanisme sistem organisasi profesi melalui Majelis Kehormatan Notaris (MKN) dengan melakukan upaya secara represif karena terkait dengan penerapan Pasal 66 ayat ( 1 ) UUJN-P, yaitu dalam memberikan persetujuan atau penolak permintaan penyidik yang hendak memanggil Notaris dalam Proses Peradilan, keberadaan Majelis Kehormatan Notaris (MKN) pada dasarnya menggantikan peran dari Majelis Pengawas Daerah (MPD) sebagai Lembaga Perlindungan Hukum terhadap Notaris bertujuan untuk menghindari tindakan yang sewenang-wenang dari penyidik yang hendak memanggil Notaris dalam persidangan.
Disisi lain dapat pula dipertimbangkan dalam upaya penyelesaian tindak pidana dengan cara lain yang lebih baik tanpa menggunakan hukum pidana sebagai sasaran utamanya. Melalui penerapan asas dalam hukum pidana ultimumremidium. Ultimum remidium merupakan salah satu asas yang terdapat dalam hukum pidana Indonesia yang mengatakan bahwa hukum pidana hendaknya dijadikan upaya terakhir dalam hal penegakan hukum. Hal ini memiiki makna apabila suatu perkara dapat diselesaikan melalui jalur lain (kekeluargaan, negoisasi, mediasi, perdata ataupun hukum administrasi)
Wirjono Prodjodikoro mengatakan bahwa norma-norma atau kaidah-kaidah dalam bidang hukum tata negara dan hukum tata usaha negara pertama-tama ditanggapi dengan sanksi perdata. Hanya apabila sanksi administrasi dan sanksi perdata ini belum mencukupi untuk mencapai tujuan meluruskan neraca kemasyarakatan, maka baru diadakan juga sanksi pidana sebagai pamungkas (terakhir) ata ultimum remidium.
Lebih lanjut Wirjono Prodjodikoro mengatakan bahwa sifat sanksi pidana sebagai senjata pamungkas atau ultimum remidium dapat dilakukan jika sanksi perdata, sanksi administrasi dan sanksi lainnya dirasa tidak efektif lagi dalam mencegah kesalahan tindakan hukum yang dilakukan oleh notaris dalam jabatannya. melalui penerapan sanksi pidana dengan ultimum remidium menimbulkan dampak dan kecenderungan untuk menghindari pemberian sanksi pidana.[12] Kemungkinan sanksi pidana terhadap notaris dapat saja terjadi jika dalam jabatannya terbukti melakukan tindakan fatal yang sangat merugikan banyak orang dan banyak kepentingan.
Menutup pemaparannya kata Irfan Ardiansyah, sebagai Kesimpulan Pengaturan mengenai sanksi terhadap notaris yang melanggar kewajiban dan larangan dalam UUJN dapat berupa sanksi administratif, sanski perdata dan sanksi pidana sekalipun. Terhadap penjatuhan sanksi pidana diharapkan menerapkan asas ultimum remidium, yaitu bahwa sanksi pidana dijadikan upaya hukum dalam penegakan hukum selama masih dapat dilakukan dengan sanski-sanski lainnya seperti sanski administratif dan sanski perdata.
Diperlukan perlindungan hukum bagi notaris dalam menjalankan jabatannya, untuk menjaga keluhuran harkat dan martabat jabatannya dalam mengemban tugas dari Pemerintah dalam bidang keperdataan mengingat peran stategis notaris dalam menciptakan ketertiban hukum di masyarakat. Keberadaan regulasi UUJN telah mengatur mekanisme perlindungan hukum bagi dengan sempurna, maka menjadikan sanksi pidana sebagai ultimum remidium merupakan pilihan yang tepat. (jay/red)