NOTARIS-PPAT ADALAH PEJABAT YANG MENJALANKAN CONSTATERING DAN TIDAK LAYAK DIPIDANAKAN

Nasional301 Views
NOTARIS-PPAT ADALAH PEJABAT YANG MENJALANKAN CONSTATERING DAN TIDAK LAYAK DIPIDANAKAN

Oleh: Widhi Handoko (Professional Notaris PPAT Kota Semarang, Dosen Unissula, Undip, Unnes dan STIK PTIK Polri).

ACEH,INDONESIAPUBLISHER.COM – Notaris PPAT adalah pejabat publik sekaligus pejabat yang diperintah Undang-undang menjalankan sebagian dari tugas-tugas negara dan tugas-tugas pemerintahan dalam bidang administratif (dokumen negara atau pemerintahan) dan dalam bidang perdata (menyiapkan alat bukti atau dokumen tetulis atau otentik).

Legal standing jabatan Notaris PPAT yaitu UU No. 2 th 2014 juncto UU No. 30 th 2004, serta Peraturan Perundang undangan yang terkait. Seperti UU No 30 th 2014, tentang Administrasi Pemerintahan, juga KUH Perdata dll termasuk Peraturan perundang undangan yang berkaitan dengan pertanahan, seperti PP 24 th 1997, tentang pendaftaran tanah, PP 24 th 2016 perubahan dari PP 37 th 1998 ttg PPAT dll.

Makna Constatering yaitu menarasikan kehendak para pihak (opmaken) ke dalam suatu akta otentik, dan membacakan serta mencocokan bukti-bukti formil dari teraan dan tanda tangan para pihak dalam aktanya (verlijden), sebagaimana di perintahkan oleh peraturan perundang undangan yang berlaku di Indonesia (Widhi Handoko, 2018).

Nataris PPAT merupakan ambtelijk bevel (penguasa atau pejabat), istilah tsb dapat ditemukan dalam Hukum Pidana atau KUHP. Istilah atau sebutan lain yaitu ambtenaar (sebutan ASN jaman Hindia Belanda). Pada jaman hindia belanda Notaris dan PPAT digaji dan masuk dalam katagori Pegawai atau ASN. Jadi Notaris PPAT yaitu pejabat yang hanya menjalankan tugas jabatan karena perintah undang-undang dan hal tersebut diberikan dalam pengangkatan dan sumpah jabatan oleh Penguasa (sekaligus melaksanakan sumpah jabatan oleh Menteri atau delegasinya, untuk dan atas nama negara), berdasarkan pengangkatan dan sumpah jabatan sesuai dengan UU.

Kekeliruan dalam memahami Tugas Jabatan Notaris PPAT lebih kentara (mencolok) jika dikaji secara mendalam berdasarkan ketentuan Pasal 51 ayat (1) KUHP, yang memberikan penjelasan bahwa, “Barang siapa melakukan perbuatan untuk melaksanakan perintah jabatan yang diberikan oleh penguasa yang berwenang, tidak dipidana”. (Lebih jelas dapat dibaca dalam penjelasan Tim Penterjemah Badan Pembinaan Hukum Nasional).

Pada kenyataan dalam praktik Pasal 51 ayat (1) KUHP tersebut sering diabaikan (over kriminalisasi) oleh penegak hukum (PH). Pasal 51 ayat (1) KUHP memberi penegasan sebagai klausul perintah jabatan (ambtelijk bevel). Pemahaman tersebut telah disalah artikan oleh sebagian PH dan Ahli Hukum yang keliru dalam menafsirkan dengan kecenderungan menggeneralisasi alasan untuk menghapus pidana terhadap terdakwa (exemption from liability). Sepanjang Notaris PPAT dalam menjalankan tugas jabatannya sesuai UU maka kata exemption from liability, jelas tidak tepat jika dituduhkan kepada Notaris PPAT untuk berlindung pada Pasal 51 ayat (1) tsb (WH2021).

Klausal perintah jabatan (ambtelijk bevel). Bunyi selengkapnya sebagaimana ditegaskan pada Pasal 51 ayat (1) KUHP adalah sebagai berikut:

1. Barang siapa melakukan perbuatan untuk menjalankan perintah jabatan yang diberikan oleh kuasa yang berhak akan itu, tidak boleh dihukum.

2. Perintah jabatan yang diberikan oleh kuasa yang tidak berhak tidak membebaskan dari hukuman, kecuali jika pegawai yang di bawahnya atas kepercayaannya memandang bahwa perintah itu seakan-akan diberikan kuasa yang berhak dengan sah dan menjalankan perintah itu menjadi kewajiban pegawai yang di bawah perintah tadi.

Apa yang semestinya ditafsirkan dalam menjalankan tugas jabatan Notaris PPAT, sesuai Pasal 51 ayat (1) KUH Pidana menyebutkan “tidaklah dapat dihukum barangsiapa melakukan suatu perbuatan untuk melaksanakan suatu perintah jabatan yang telah diberikan oleh suatu kekuasaan yang berwenang memberikan perintah tersebut”.

Dalam bahasa Belanda, rumusan ayat ini adalah ‘Niet strafbaar is hij die een feit begaat ter uitvoering van een ambtelijk bevel, gegeven door het daartoe bevoegde gezag’ artinya ambtelijk bevel pada jabatan Notaris PPAT adalah klausul perintah jabatan yang diatur dalam Pasal 51 ayat (1) KUHP yang tidak dapat ditafsirkan lain kecuali bahwa Notaris PPAT menjalankan tugas kewenangan jabatan karena perintah UUJN atau Peraturan Perundang Undangan lainnya (terkait).

Poin penting Pasal 51 tersebut yaitu terhadap tugas jabatan Notaris PPAT, dapat dipahami secara preskriptif of law bahwa pemberian wewenang oleh pejabat yang berwenang yaitu kementrian (Kumham untuk jabatan Notaris dan ATR/BPN untuk jabatan PPAT) sebagai delegasi menjalankan tugas jabatan untuk dan atas nama negara. Bentuk delegasi tersebut yaitu mengangkat dan melaksanakan sumpah jabatan berdasarkan SK dan Berita Sumpah Jabatan, serta mengehentikan atas jabatan tsb jika telah berakhir atau pensiun dari tugas jabatannya selaku Notaris PPAT.

Maka dari ketentuan Pasal 51 ayat (1) KUHP tersebut dapat di Tafsirkan (1) Jika perintah diberikan oleh pejabat yang tak berwenang, maka terdakwa tidak bisa menggunakan dalih ini untuk lolos dari jerat hukum. Maka sebaliknya harus dipahami Notaris PPAT tidak dapat dipidanakan, sepanjang menjalankan tugas jabatan Notaris PPAT sudah sesuai prosedur dan ketentuan peraturan perundang undangan yang mengatur. Tafsir (2), Sepanjang Notaris PPAT dalam menjalankan jabatannya, ia dapat membuktikan adanya itikad baik (tidak terdapat mens rea atau tidak menikmati actus reus atau obyek kejahatan) maka tidak dapat di pidanakan.

Dalam kajian ini dapat dilihat pula dari comparative law bahwa:

1. Perkataan ambtelijk bevel atau “perintah jabatan” itu sendiri secara harfiah dapat diartikan sebagai suatu perintah yang telah diberikan oleh seorang atasan, di mana kewenangan untuk memerintah semacam itu bersumber pada suatu ambtelijk positie atau suatu kedudukan menurut jabatan, baik dari orang yang memberikan perintah maupun dari orang yang menerima perintah (Lamintang, Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia, hlm 525).

2. Comparative Law pada Pasal 51 KUHP yang di dasarkan pendapat R. Soesilo dalam bukunya Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Serta Komentar-Komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal (hlm. 67), beliau memberikan penjelasan bahwa untuk dapat dipidana dengan pasal 51 KUHP tersebut, perlu dipenuhi beberapa syarat yaitu: (a) Bahwa orang itu melakukan perbuatan atas suatu perintah jabatan. Artinya bahwa antara si-pemberi perintah dengan orang yang diperintah harus ada perhubungan yang bersifat kepegawaian Negeri, bukan pegawai partikelir. (b) Tidak perlu bahwa yang diberi perintah itu, harus orang bawahan dari yang memerintah. (c) Mungkin yang memerintah dan diperintah memiliki pangkat yang sama, tetapi yang perlu diperhatikan, bahwa antara yang memerintah dengan yang memberi diperintah ada kewajiban untuk menaati perintah itu.

3. Perintah harus diberikan oleh kuasa yang berhak untuk memberikan perintah itu. Jika kuasa tersebut tidak berhak untuk itu, maka orang yang menjalankan perintah tadi tetap dapat dihukum atas perbuatan yang telah dilakukannya, kecuali jika orang itu dengan itikad baik mengira bahwa perintah tersebut sah dan diberikan oleh kuasa yang berhak untuk itu. Jika demikian, maka berdasarkan ketentuan Pasal 51 ayat (2) dari pasal tersbut, orang itu tidak dapat melaksanakannya.

4. Sesang jika meninjau pendapat Profesor Simons menegaskan bahwa: perintah (kewenangan) itu tidak harus selalu diberikan kepada seseorang bawahan saja, melainkan perintah juga dapat diberikan kepada orang-orang lain, dan sepanjang perintah seperti itu telah diberikan berdasarkan undang-undang, maka hal dapat dihukumnya perbuatan-perbuatan untuk melaksanakan perintah tersebut menjadi ditiadakan.

5. Profesor Van Hamel menjelaskan bahwa: Undang-Undang mensyaratkan bahwa perintah itu haruslah bersifat “ambtelijk” yang berarti harus diberikan berdasarkan suatu ambt atau suatu jabatan kepada orang-orang bawahan, yakni kepada pegawai-pegawai negeri dan kepada lain-lain orang yang menjadi bawahan yang memerintahkan.

Simpulan:

Pasal 51 KUHP dapat dipahami sbb:

1. Undang-undang telah mensyaratkan bahwa “perintah jabatan” itu haruslah diberikan oleh “hel bevoegde gezag” atau oleh “kekuasaan yang berwenang” untuk mengeluarkan perintah semacam itu.

2. Notaris PPAT tidak dapat dipidanakan, sepanjang menjalankan tugas jabatan Notaris PPAT sudah sesuai prosedur dan ketentuan peraturan perundang undangan yang mengatur.

3. Sepanjang Notaris PPAT dalam menjalankan jabatannya, ia dapat membuktikan adanya itikad baik (tidak terdapat mens rea atau tidak menikmati actus reus atau obyek kejahatan) maka tidak dapat di pidanakan.

Referensi:

1. Lamintang. 2013. Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia. Bandung: PT. Citra Aditya Bakti.

2. R. Soesilo. 1986. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Serta Komentar-Komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal. Bogor: Politeia.

3. Widhi Handoko. 2019. Dominasi Negara terhadap profesi Notaris Antara Ide dan Realita, PT. Roda Republika Kreasi Bandung.————————. 2020. Pergeseran Alat Bukti Otentik menjadi Keterangan Saksi, Unissula Press, Semarang.

4. Perkap (Peraturan Kepala Kepolisian) RI No. 6 Tahun 2019 pengganti Perkap RI No. 14 Tahun 2012, bahwa sudah tidak diperbolehkan lagi untuk mengembangkan yang dulu dikenal dengan laporan model C (Perkap No 2 Tahun 1984), sekarang hanya dikenal dua model pelaporan, yaitu model A dan B dimana pasal yang dilaporkan itulah pasal yang disidik oleh kepolisian.

#Notaris sudah saatnya harus belajar irisan Hukum Perdata-Pidana-Administrasi Negara/Pemerintah.

#Ditulis di Aceh pada Acara Simposium Pengwil Istimewa Aceh INI, 10-11 Desember 2021.***