Akta Fiktif !

Ruang Edukasi387 Views

Oleh : Ahmad Yahya, S.HI., S.H. M.Kn.

Seiring perkembangan zaman yang semakin maju dan modern, menuntut pula adanya perkembangan tujuan kejahatan dalam dunia hukum. Kejahatan-kejahatan tersebut juga muncul dalam profesi hukum salah satunya terjadi pada profesi notaris. Notaris akhir-akhir ini sering dipermasalahkan karena akta yang dibuatnya mengandung unsur-unsur tindak pidana, hal ini disebabkan karena kurang kehati-hatian notaris dalam membuat akta. Para pihak sering kali mengambil kesempatan demi keuntungannya sendiri dengan cara melakukan kejahatan seperti mempengaruhi dan mendekte notaris untuk melakukan pembuatan akta diluar aturan yang sudah ditentukan dalam UUJN.

Notaris dalam jabatannya secara tegas diatur dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014 perubahan atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris. Tugas jabatan notaris pada umumnya terletak pada kewenangannya dalam membuat akta otentik, oleh notaris akta yang dibuatnya mempunyai kekuatan pembuktian yang kuat bila dibandingkang dengan akta dibawah tangan. 

Dalam Undang-Undang Jabatan Notaris dapat dilihat dalam Pasal 16 ayat (1) huruf a disebutkan mengenai kewajiban notaris yaitu dalam menjalankan jabatannya, Notaris wajib bertindak amanah, jujur, seksama, mandiri tidak berpihak, dan menjaga kepentingan pihak yang terkait dalam perbuatan hukum. Notaris dalam menjalankan tugas dan jabatannya dalam membuat akta tidak luput dari kesalahan atau kekeliruan baik yang disebabkan karena perilaku yang tidak profesional atau memihak salah satu pihak sehingga terjadi permasalahan dalam akta yang dibuatnya. Sebagai pejabat umum yang berwenang untuk membuat akta otentik notaris seringkali bertindak tidak hati-hati yang berakibat menimbulkan permasalahan hukum, baik dalam ranah hukum pidana maupun ranah hukum perdata.

Akta mempunyai fungsi formil (formalitas causa) dan fungsi sebagai alat bukti (probationis causa) akta sebagai fungsi formil artinya bahwa suatu perbuatan hukum akan menjadi lebih lengkap apabila dibuat suatu akta. Akta otentik merupakan alat pembuktian yang sempurna bagi kedua belah pihak dan ahli warisnya serta sekalian orang yang mendapat hak darinya tentang apa yang dimuat dalam akta tersebut. Akta otentik merupakam bukti yang mengikat yang berarti kebenaran dari hal-hal yang tertulis dalam akta tersebut harus diakui oleh hakim, yaitu akta tersebut dianggap sebagai benar selama kebenarannya itu tidak ada pihak lain yang dapat membuktikan sebaliknya.         

Memalsukan Akta Otentik

Akta notaris yang selanjutnya disebut akta adalah akta otentik yang dibuat oleh atau dihadapan notaris menurut bentuk dan tata cara yang ditetapkan dalam Undang-Undang. Definisi fiktif dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah bersifat fiksi ; hanya terdapat dalam khayalan, atau dalam istilah lainnya adalah palsu, delusif, artifisial, ilusif. Dari pengertian istilah tersebut dapat diambil kesimpulan bahwa akta fiktif adalah akta yang dibuat tidak nyata terjadi yang dilakukan oleh para pihak dihadapan notaris atau dengan istilah sederhana akta yang tidak pernah ditanda tangani oleh para pihak dihadapan notaris.

Berdasarkan Pasal 16 ayat (1) huruf  b Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014 dalam menjanlankan jabatannya, Notaris wajib membuat akta dalam bentuk minuta akta dan menyimpannya sebagai bagian dari Protokol Notaris. Kewajiban ini dimaksud untuk menjaga keotentikan suatu akta dengan menyimpan akta dalam bentuk aslinya, sehingga apabila ada pemalsuan atau penyalahgunaan grosse, salinan atau kutipannya dapat segera diketahui dengan mudah dengan mencocokkannya dengan aslinya.

Jika notaris melanggar kewajiban tersebut, maka dapat dikatakan telah melakukan pelanggaran berat dan oleh karena itu dapat dikenai sanksi berupa pemberhentian dengan tidak hormat dari jabatannya oleh Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia atas usul Majelis Pengawas Pusat.

Melihat ketentuan dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) pada dasarnya telah diatur dalam Pasal 263 KUHP mengenai pemalsuan surat sebagai berikut :  Pertama “Barang siapa membuat surat palsu atau memalsukan surat yang dapat menimbulkan sesuatu hak, perikatan atau pembebasan hutang, atau yang diperuntukkan sebagai bukti dari pada sesuatu hal dengan maksud untuk memakai atau menyuruh orang lain memakai surat tersebut seolah-olah isinya benar dan tidak dipalsu, diancam jika pemakaian tersebut dapat menimbulkan kerugian, karena pemalsuan surat, dengan pidana penjara paling lama enam tahun”. Kedua “ Diancam dengan pidana yang sama, barang siapa dengan sengaja memakai surat palsu atau yang dipalsukan seolah-olah sejati, jika pemakaian surat itu dapat menimbulkan kerugian”.

Berkaitan notaris yang memalsukan akta otentik, dalam Pasal 264 ayat (1) KUHP telah mengatur mengenai pemberatan dari delik pemalsuan surat sebagai berikut : pemalsuan surat diancam dengan pidana penjara paling lama delapan tahun jika dilakukan terhadap ; (a) Akta otentik, (b) Surat hutang atau sertifikat hutang dari suatu negara atau bagiannya ataupun dari suatu lembaga hukum, (c) Surat sero atau hutang atau sertifikat sero atau hutang dan suatu perkumpulan, yayasan, perseroan atau maskapai, (d) Talon, tanda bukti dividen atau bunga dari salah satu surat yang diterangkan dalam b dan c, atau tanda bukti yang dikeluarkan sebagai pengganti surat-surat itu, (e) Surat kredit atau surat dagang yang diperuntukkan untuk diedarkan.

Menurut penulis, terjadinya pembuatan akta fiktif yang dilakukan oleh notaris atau dibuat oleh notaris yang tidak sesuai dengan tata cara yang ditetapkan oleh Undang-Undang Jabatan Notaris (UUJN) merupakan kesengajaan dan perbuatan melawan hukum. Kesengajaan dalam hukum pidana adalah merupakan bagian dari kesalahan. Kesengajaan pelaku mempunyai hubungan kejiwaan yang lebih erat terhadap suatu tindakan (yang terlarang) dibandingkan dengan kealpaan (culpa).

Sengaja berarti menghendaki dan mengetahui apa yang ia perbuat atau dilakukan. Dalam hal seseorang melakukan sesuatu dengan sengaja dapat dibedakan ke dalam tiga (3) bentuk sikap batin, yang menunjukkan tingkatan dari kesengajaan sebagai berikut : Pertama kesengajaan sebagai maksud untuk mencapai suatu tujuan. Kedua kesengajaan yang sadar kepastian. Ketiga kesengajaan dengan sadar kemungkinan.

Menurut Pasal 1365 KUHPerdata, yang dimaksud dengan perbuatan melanggar hukum adalah perbuatan melawan hukum yang dilakukan oleh seseorang yang karena kesalahannya itu telah menimbulkan kerugian orang lain. Istilah “melanggar” menurut MA Moegni Djojodirdjo hanya mencerminkan sifat aktifnya saja sedangkan sifat pasifnya diabaikan. Pada istilah “melawan” itu sudah termasuk pengertian perbuatan yang bersifat aktif maupun pasif.

Seseorang dengan sengaja melakukan sesuatu perbuatan yang menimbulkan kerugian pada orang lain, maka nampaklah dengan jelas sifat aktif dari istilah melawan tersebut. sebaliknya kalau seseorang dengan sengaja tidak melakukan sesuatu atau diam saja, padahal mengetahui bahwa sesungguhnya harus melakukan sesuatu perbuatan untuk tidak merugikan orang lain atau dengan lain perkataan bersikap pasif saja, bahkan enggan melakukan kerugian pada orang lain, maka telah “melawan” tanpa harus menggerakkan badannya.       

Ketentuan Pasal 1365 BW kemudian dipertegas kembali dalam Pasal 1365 BW yaitu : ”setiap orang bertanggung jawab tidak hanya untuk kerugian yang ditimbulkan oleh perbuatannya tetapi juga disebabkan oleh kelalaiannya”. Kedua pasal tersebut diatas menegaskan bahwa perbuatan melawan hukum tidak saja mencakup suatu perbuatan, tetapi juga mencakup tidak berbuat. Pasal 1365 BW mengatur tentang “perbuatan” dan Pasal 1366 BW mengatur tentang “tidak berbuat”.

Menurut Islam dalam tafsir Ibnu Katsir penjelasan Surat Al Baqarah ayat 282 yang juga sebagai dasar hukum notaris ; “…dan hendaklah seseorang penulis diantara kamu menulisnya dengan adil”. Yakni dengan benar, tidak menyalahi ketentuan Allah swt dan perundangan yang berlaku di masyarakat. Tidak juga merugikan salah satu pihak yang bermuamalah, sebagaimana dipahami dari kata adil dan diantara kamu. Dengan demikian dibutuhkan tiga kriteria bagi penulis, yaitu kemampuan menulis, pengetahuan tentang aturan serta tata cara menulis, dan kejujuran.

Surat Al Baqarah ayat 282 dalam penjelasan diatas mendahulukan penyebutan adil dari pada penyebutan pengetahuan yang diajarkan Allah swt. Ini karena keadilan, disamping menuntut adanya pengetahuan bagi yang akan berlaku adil, juga karena seseorang yang adil tapi tidak mengetahuinya, keadilannya akan mendorong dia untuk belajar. Berbeda dengan yang mengetahui tetapi tidak adil. Ketika itu pengetahuannya akan digunakan untuk menutupi ketidakadilannya. Ia akan mencari celah hukum untuk membenarkan penyelewengan dan menghindari saksi. Selanjutnya kepada para penulis diingatkan, agar janganlah enggan menulisnya sebagai tanda syukur, sebab Allah swt telah mengajarnya, maka hendaklah ia menulis.

Penggalan ayat diatas meletakkan tanggung jawab diatas pundak penulis (notaris) yang mampu, bahkan setiap orang yang memiliki kemampuan untuk melaksanakan sesuatu dengan kemampuannya. Setelah penulisan, maka uraian selanjutnya menyangkut persaksian, baik dalam tulis menulis maupun selainnya. Dan persaksikanlah dengan dua orang saksi diantara kamu. Sebagaimana Allah swt berpesan kepada para penulis (notaris), kepada para saksipun Allah swt berpesan, “janganlah saksi-saksi itu enggan memberikan keterangan apabila mereka dipanggil”. Karena keengganannya dapat mengakibatkan hilangnya hak atau terjadi korban.   

Semarang, 19 Oktober 2021 (*)