Muhammad Nizam Fanani SH, M. Kn
Oleh : Muhammad Nizam Fanani, SH, M. Kn, Praktisi ( Notaris- PPAT di Kabupaten Magelang) dan Akademisi (Dosen Program Studi Magister Kenotariatan Universitas Gadjah Mada)
YOGYAKARTA,(indonesiapublisher.com) –Tulisan ini sebagai bentuk jawaban (alternatif pemikiran dari tulisan rekan Burhan sekretaris dari Pengwil INI DIY dalam laman Face book dan sempat di share di WAG ini dengan judul ; RELASI PEMERINTAH DAN ORGANISASI YG DISAHKAN PEMERINTAH. yang menyoroti tentang campur tangan/kiprah Ditjend AHU dalam konflik internal dalam tubuh INI; dimana dari tulisan tersebut dapat diambil kesimpulan, bahwa legalitas I.N.I sangat bergantung pada pengakuan Pemerintah (dlm hal ini Ditjend AHU).
Pemikiran yang demikian menurut saya adalah satu kerancuan berfikir akademik, dan lebih terkesan memberikan pembenaran secara pragtis pragmatis, karena tidak didasarkan pada norma-norma dan teori hukum; yang saya khawatir bila pemikiran/faham spt ini dibenarkan dan diikuti oleh anggota I.N.I kedepan akan semakin menyeret organisasi I.N.I. menjadi kehilangan JATIDIRI sebagai satu-satunya organisasi para Notaris yg didirikan dan keberadaannya adalah sebagai manifestasi hak konstitusi Warga Negara, yaitu kebebasan untuk berserikat atau berorganisasi, kebebasan berkumpul, dan kebebasan menyatakan pendapat sebagai sarana sumbangsih partisipasi/ pembawa pemikiran/pendapat dari masyarakat dalam pembangunan Negara dan pelaksanaan Good Governest.
Tulisan kali ini adalah tulisan kedua (yg pertama telah pernah saya share juga di WAG ini) yg lebih menyoroti kiprah (campur tangan Ditjend AHU dalam konflik internal organisasi I.N.I.
Pintu masuk Ditjend AHU kedalam konflik internal I.N.I memang (sengaja/ dan tidak sengaja dibuka secara lebar-lebar melalui Remnas (Remuk Nasional, plesetan kata dari Rembug Nasional) yang pada kenyataannya sebagaimana kita saksikan bersama adalah menghasilkan suatu ketidak pastian, carut marut, dan simalakama bagi semua anggota INI.
Mengapa hal itu bisa terjadi ?, menurut saya karena Ditjend AHU dalam menerima amanah Remnas telah bertindak off side.
Relasi Pemerintah (Kemenkumham) terhadap organisasi secara formal diatur dalam ayat (5) Pasal 82 UUJN (P) yang mengatur, ttg Penetapan, Pembinaan dan Pengawasan ada diberikan kepada Pemerintah dalam hal ini melalui Peraturan Menteri. Hal yg perlu dicermati dan dicatat disini adalah Permen tsb. sampai hari ini belum diterbitkan, dengan demikian Ditjend AHU sampai Detik ini tidak memiliki legal standing (kewenangan) untuk menerbitkan suatu PENETAPAN dg dalih sebagai PEMBINAAN terhadap organisasi I.N.I dalam mengemban amanah yg diberikan melalui Remnas.
Langkah yg diambil oleh Ditjend AHU dalam menangani sengketa ini seyogyanya adalah memakai dasar Pasal 57 (ayat 1,2 dan 3) UU No. 17/2013 tentang Ormas, sebagai pedoman yang mengatur “sengketa organisasi“, Pasal 57 : 1. Dalam hal terjadi sengketa internal Ormas, Ormas berwenang menyelesaikan sengketa melalui mekanisme yang diatur dalam AD dan ART. 2. Apabila penyelesaian sengketa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak tercapai, pemerintah dapat memfasilitasi MEDIASI atas permintaan para pihak yang bersengketa. 3. Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara mediasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dalam Peraturan Pemerintah. (Catatan saya pada pasal 57 UU ormas tersebut adalah PEMERINTAH hanya sebatas memfasilitasi MEDIASI)
Christper W. Moore memaparkan mediasi adalah suatu masalah yang dapat dibantu oleh pihak ketiga yang dapat diterima oleh kedua belah pihak, adil dan tidak memihak serta tidak mempunyai wewenang untuk membuat keputusan, tetapi mempercepat para pihak yang bersengketa agar dapat mencapai suatu keputusan bersama dari masalah yang disengketakan (Desriza Ratman. Mediasi Non-Litigasi Terhadap Sengketa Medik dengan Konsep Win-Win Solution. Jakarta: Elex Media Komputindo, 2012).
Pasal 1 angka 2 Perma 1/2016 : Mediator adalah Hakim atau pihak lain yang memiliki Sertifikat Mediator sebagai pihak netral yang membantu Para Pihak dalam proses perundingan guna mencari berbagai kemungkinan penyelesaian sengketa tanpa menggunakan cara memutus atau memaksakan sebuah penyelesaian.
Christper W Moore mengatakan : tidak mempunyai wewenang untuk membuat keputusan, sementara Pasal 1 angka 2 Perma mengatakan : sengketa tanpa menggunakan cara memutus atau memaksakan sebuah penyelesaian.
Yang menjadi pertanyaan, apakah kedua belah Pihak yang bersengketa dalam INI benar diikutsertakan secara aktif dan intens oleh Ditjend AHU selama ini dalam menangani sengketa/konflik ini ? Konon (perlu dibuktikan kebenarannya), yang diajak/dilibatkan oleh Ditjend AHU dalam menyelesaikan konflik dalam I.N.I hanya pihak Pengurus Pusat (PP INI), sedang dari kelompok Pengwil “ yang berseberangan dengan PP – INI tidak pernah dilibatkan. Hal ini akan cenderung dibaca/terkesan KETIDAK NETRALAN Dirjend AHU dalam menangani sengketa apalagi sampai membuat suatu tindakan BLUNDER, dengan gegabah mengeluarkan suatu PENETAPAN” (menetapkan waktu konggres, membatalkan Konggres, memerintahkan E Vote, dll) yang jelas-jelas tidak mempunyai legitimasi (dasar kewenangan) dan melanggar Pasal 1 angka 2 PERMA 1 / 2016. Serta membuat statemen-statemen ngawur yang berrdampak damag dengan mengatakan AD-ART bisa dikesampingkan.
Semoga Pengwil” yg masih taat asas segera mengambil langkah penyelamatan Organisasi I.N.I dengan langkah/tindakan legal, tegas dan berani dg selalu mendasarkan pada ketentuan AD –ART.
Akhirnya pada satu kesimpulan dan himbauan, mari kembalikan segala sesuatu ini pada aturan yang telah disepakati dan dituangkan dalam suatu statuta (AD-ART) secara jernih dan jujur tidak dibalut dengan kepentingan sesaat, sehingga kita tidak terjerumus pada tindakan manipulatif akademik. Terlalu menggantungkan diri dan mengejar Pengakuan suatu Organisasi kepada Pemerintah adalah cara berpikir para Irlander (sebutan menyakitkan kpd pribumi oleh kolonial) yang kurang bermartabat.
(Catatatan kritis Notaris dibawah stupa Candiborobudur setelah pengajian malam Jumat, 16 Mar 2023, Nizam). ***