Urgensi Perlindungan Jabatan Notaris Sudah Relevankah Dengan RUU KUHP?

Notaris- PPAT360 Views

Stefanus Artanto,SH,salah seorang tokoh Notaris- PPAT senior yang sangat disegani oleh koleganya di Jawa Tengah dan DIY

indonesiapublisher.com,MUNTILAN – Hukum pidana nasional yang berlaku saat ini merupakan peninggalanan kolonial lebih dari 100 tahun. Untuk itu, sudah sepatutnya diperlukan pembaharuan hukum pidana Indonesia dan hal tersebut sudah diiniasi pemerintah melalui pembentukan “Rancangan Undang-Undang Kitab undang-undang Hukum Pidana (RUU KUHP) yang seungguhnya sudah dibahas para pakar hukum di Indonesia lebih dari 50 tahun.

Dalam rangka membahas dan memberikan pemahaman secara utuh kepada kalangan Notaris, belakangan ini dalam berbagai perhelatan acara Seminar Nasional, baik yang digelar PP INI, Pengwil- Pengwil bahkan sampai pada level pengda-pengda mengangkat tema terkait ‘ Urgensi Perlindungan Jabatan Notaris Terhadap RUU KUHP’.

Namun salah seorang tokoh Notaris- PPAT senior di Jawa Tengah dan DIY yang berkantor di daerah Muntilan Kabupaten Magelang, Stefanus Artanto, SH menilai, ‘Apakah Urgensi Perlindungan Jabatan Notaris itu sendiri sejauh ini sejatinya sudah relevankah dengan keberadaan RUU KUHP?

Maka menurut hemat Artanto saat bincang-bincang dengan indonesiapublisher.com di Kawasan Kota Muntilan pada Jumat (19/8/2022) menyatakan, ada baiknya mari kita coba diskusikan lebih lanjut.

Didalam RUU  KUHP kata Artanto,kalau saya boleh berpendapat mungkin barangkali saya keliru ya dengan segala keterbatasan pengetahuan apakah Undang-Undang No.2 Tahun 2014 Tentang  Perubahan  atas Undang-Undang No.30 Tahun 2004 Tentang  Jabatan   Notaris.   UUJN itu merupakan Lex Spesialis terhadap  KUHP? Kalau iya, maka penguatan kedudukan   Notaris atau penguatan perlindungan jabatan Notaris  itu jangan  hanya  fokus pada  Rancangan Undang-Undang  Kitab  Undang-Undang  Hukum Pidana (KUHP), tetapi perlu ditinjau setelah 8 tahun UUJN No.1Tahun 2014 tersebut berjalan,tentunya   diperbaharui perlindungan  jabatan Notaris itu untukdikaji  lagi.

Artanto menguraikan lagi, RUU KUHP  diharapkan dapat menjadi hukum pidana nasional dengan paradigma modern, berorientasi pada keadilan yang korektif, retroaktif, dan rehabilitatif. Ketentuan terkait dengan Jabatan Notaris pada prinsipnya masih sama dengan ketentuan yang diatur dalam KUHP yang saat ini berlaku.

Karena dinamika  masyarakat itu  berkembang dan  berbagai persoalan  hukum yang menyangkut jabatan Notaris  itu sedemkian kompleknya.

Artanto kembali   menuturkan,jikalau   dalamkonteks perlindungan Profesi  Notaris terkait  RUU  KUHP maka kalau   saya  tidak salah berpendapat  UUJN  itu merupakan Lex Spesialis sedangkan  RUU KUHP itu merupakan Lex Generalis.

Jika  demikian  kata da  lagi,nanti kalau   dalampembahasan  RUU KUHP perlindungan  terhadap profesi jabatan   Notaris   juga  dbuat  sebaikmungkin,akan  tetapi terhadap  UUJN No.1 Tahun  2014 bilamana  perlu   juga   dilakukan  perubahanatau suatu penyempurnaan .

Apakah  pada praktiknya  di lapangan  selama  ini  Notaris  itu  “ditekan” oleh  aparat penegak  hukum  atau pihak  yang   berwenang?Artanto  mengatakan   selama ini sih  tidak   juga. Justru  saya  katakan  disini  bahwa  adanya  permasalahan atau  kasus-kasus  itu  timbul  karena  pengawasan  nternal  di dalam tubuh b INI  sendiri  yang kurang jeli, kurang akurat dan kurang  ketat.

Sehingga  memberi peluang kepada “oknum  Notaris  Nakal” untuk menyalahgunakan dan / melakukan pelanggaran-pelanggaran profesi   dan  Kode  Etik  yang  bisa berakibat kepada kerugian masyarakat. Misalnya :   Notaris  jarang   ngantor, Minuta dibawa ke luar,  para pihak  tidak  menghadap  saat  pembacaan  AKta,  lalu  Notaris berpihak kepada  klien.

Lalu   apakah  perlu  di amanatkan, saya  tidak tahu  apakah  amanat itu  di RUU KUHP atau di  UUJN, baiknya    saya  sih dalam kapasitas   saya  bertanya,(bukan  berpendapat  lho ya) ada  semacam  Lembaga  Perlindungan   Notaris  atau  sebut  saja  semacam  Lembaga Perlindungan  Saksi  dan  Korban (LPSK)  untuk  melindungi  Notaris  dari intimidasi,tekanan,ancaman dari  pihak-pihak yang  tidak  bertanggungjawab.

Artanto  menyimpulkan, intinya bahwa  UUJN  itu  merupakan Lex Spesialis sedangkan RUU KUHP itu  merupakan Lex Generasilis dan terhadap keduanya  perlu  dilakukan  sinkronisasi sehingga   tujuan  daripada  Perlindungan  Profesi  Notaris  ini  sungguh-sungguh  tercapai.

Selanjutnya  saya  berharap  para  pakar  cendekiawan  Notaris atau ‘ilmuwan   Notaris” jangan  tinggal  diam karena  ini penting  agar   RUU  KUHP   itu   merupakan  wujud  dari  Profesi agar  rekan-rekan  Notaris itu merasa  tenang,aman dan  nyaman  dalam menjalankan  tugas  dan  jabatgannya.  Karena  bagaimanapun   berbicara  mengenai  RUU  KUHP  kita  masih “Wait and See”.

*Berkenaan   Dengan Pembahasan   Soal  Mafia  Tanah  Yang  Belakangan Meresahkan  Profesi  Jabatan  PPAT*

Sedangkan  dalam  kaitan  wawancaranya   berkaitan  dengan topik “Soal  Mafia  Tanah  Yang  Belakangan  Ini  melibatkan  Oknum  Orang dalam  BPN dan menyeret-nyeret profesi  PPAT ke pusaran hukum”.Stefanus  Artanto,SH  menyatakan, jika  berbicara  soal  kejahatan   Mafia  Tanah, terus  terang  saya  sangat –sangat  mendukung dengan  langkah Operasi  Tangkap  Tangan (OTT)  yang  dilakukan  Kementerian ATR/BPN  bersama Satgas  tim  terkait dalam  usaha  dengan  cara-cara pembasmian,pendobrakan, dan penangkapan  pelaku oknum Mafia  Tanah itu.

“Saya  sangat  mendukung  pembasmian  oknum  pelaku  kejahatan  praktik-praktik  mafia  tanah   tanpa  bermaksud  untuk  mencari  kambing  hitam  terhadap si  pelaku-pelakunya”,tegasnya.

Tetapi   ujar Artanto,mungkin  yang  banyak  diharapkan  oleh  masyarakat  yaitu  jalannya  Standar  Operasional  Prosedur (SOP)  dengan  mekanisme  yang  benar  dan  terukur dari pihak  Kementerian  ATR/BPN, sebut  saja  pekerjaan   yang   ‘sepele’.

Apakah  itu   pekerjaan  yang  bersifat ‘sepele’ tadi? Artantomenjawab yaitu :Ploting, cek  bukutanah, cek sertipikat  itu  bisa  berlama-mala.  Lalu  usul lagi   terkait  Pendaftaran Persyaratan  Hak,selama  ini   bukti  pembayaran  pajak  baik  PPH  maupun  BPHTB,khususnya  PPH  final  itu  harus  divalidasi  dulu  oleh  KPP  Pratama. Yang  memakan  waktu  paling tidak 14 hari.

Bagaimana  kalau   BPN  itu  mempercayai  Faktur  PPH Final  yang  sudah  dilakukan  validasi  atau  pengesahan  oleh Bank Persepsi  atau  Kantos  Pos. 

 Selanjutnya  menjadi   harapan    dari  Artanto, agar   pelaksanaan  SOP  di  BPN   sudah  mendekati pelaksanaan  sebagaimana  yang  diamanatkan  dalam Permen  ATR/Kepala  BPN RI No.16 Tahun 2021 tentang  Perubahan  atas Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala BPN RI Nomor 3  Tahun 1997 tentang Ketentuan Pelaksanaan  peraturan  Pemerintah  Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah,   karena  pekerjaan-pekerjaan  awal   itu  malah   menjadi  penghambat,contohnya : Ploting,Penentuan  Zona   Nilai  Tanah (ZNT),roya dan pengecekan  buku tanah.

Terakhir  Stefanus  Artanto juga  berharap, agar  pembayaran   pajak-pajak  sebagai  kelengkapan  Pendaftaran peralihan   Hak  tidak  usah tidak  usah  menunggu  validasi   dari  KPP  Pratama,toh  faktur-faktur   itu  aslinya   juga  sudah  dilampirkan dalam dokumen  Pendaftaran peralihan  Hak  dan  disitu  ada cap   basah  dari  Bank  Persepsi  atau dari Kantor  Pos.   Validasi   dari   KPP   Pratama   nanti  serahkan  bersamaan   dengan  pengambilan  sertipikat   yang  sudah  jadi  sebagamana persyaratan  kepersetaan  kartu  BPJS selama ini. (ars/yan/red)