Stefanus Artanto,SH,salah seorang tokoh Notaris- PPAT senior yang sangat disegani oleh koleganya di Jawa Tengah dan DIY
indonesiapublisher.com,MUNTILAN – Hukum pidana nasional yang berlaku saat ini merupakan peninggalanan kolonial lebih dari 100 tahun. Untuk itu, sudah sepatutnya diperlukan pembaharuan hukum pidana Indonesia dan hal tersebut sudah diiniasi pemerintah melalui pembentukan “Rancangan Undang-Undang Kitab undang-undang Hukum Pidana (RUU KUHP) yang seungguhnya sudah dibahas para pakar hukum di Indonesia lebih dari 50 tahun.
Dalam rangka membahas dan memberikan pemahaman secara utuh kepada kalangan Notaris, belakangan ini dalam berbagai perhelatan acara Seminar Nasional, baik yang digelar PP INI, Pengwil- Pengwil bahkan sampai pada level pengda-pengda mengangkat tema terkait ‘ Urgensi Perlindungan Jabatan Notaris Terhadap RUU KUHP’.
Namun salah seorang tokoh Notaris- PPAT senior di Jawa Tengah dan DIY yang berkantor di daerah Muntilan Kabupaten Magelang, Stefanus Artanto, SH menilai, ‘Apakah Urgensi Perlindungan Jabatan Notaris itu sendiri sejauh ini sejatinya sudah relevankah dengan keberadaan RUU KUHP?
Maka menurut hemat Artanto saat bincang-bincang dengan indonesiapublisher.com di Kawasan Kota Muntilan pada Jumat (19/8/2022) menyatakan, ada baiknya mari kita coba diskusikan lebih lanjut.
Didalam RUU KUHP kata Artanto,kalau saya boleh berpendapat mungkin barangkali saya keliru ya dengan segala keterbatasan pengetahuan apakah Undang-Undang No.2 Tahun 2014 Tentang Perubahan atas Undang-Undang No.30 Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris. UUJN itu merupakan Lex Spesialis terhadap KUHP? Kalau iya, maka penguatan kedudukan Notaris atau penguatan perlindungan jabatan Notaris itu jangan hanya fokus pada Rancangan Undang-Undang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), tetapi perlu ditinjau setelah 8 tahun UUJN No.1Tahun 2014 tersebut berjalan,tentunya diperbaharui perlindungan jabatan Notaris itu untukdikaji lagi.
Artanto menguraikan lagi, RUU KUHP diharapkan dapat menjadi hukum pidana nasional dengan paradigma modern, berorientasi pada keadilan yang korektif, retroaktif, dan rehabilitatif. Ketentuan terkait dengan Jabatan Notaris pada prinsipnya masih sama dengan ketentuan yang diatur dalam KUHP yang saat ini berlaku.
Karena dinamika masyarakat itu berkembang dan berbagai persoalan hukum yang menyangkut jabatan Notaris itu sedemkian kompleknya.
Artanto kembali menuturkan,jikalau dalamkonteks perlindungan Profesi Notaris terkait RUU KUHP maka kalau saya tidak salah berpendapat UUJN itu merupakan Lex Spesialis sedangkan RUU KUHP itu merupakan Lex Generalis.
Jika demikian kata da lagi,nanti kalau dalampembahasan RUU KUHP perlindungan terhadap profesi jabatan Notaris juga dbuat sebaikmungkin,akan tetapi terhadap UUJN No.1 Tahun 2014 bilamana perlu juga dilakukan perubahanatau suatu penyempurnaan .
Apakah pada praktiknya di lapangan selama ini Notaris itu “ditekan” oleh aparat penegak hukum atau pihak yang berwenang?Artanto mengatakan selama ini sih tidak juga. Justru saya katakan disini bahwa adanya permasalahan atau kasus-kasus itu timbul karena pengawasan nternal di dalam tubuh b INI sendiri yang kurang jeli, kurang akurat dan kurang ketat.
Sehingga memberi peluang kepada “oknum Notaris Nakal” untuk menyalahgunakan dan / melakukan pelanggaran-pelanggaran profesi dan Kode Etik yang bisa berakibat kepada kerugian masyarakat. Misalnya : Notaris jarang ngantor, Minuta dibawa ke luar, para pihak tidak menghadap saat pembacaan AKta, lalu Notaris berpihak kepada klien.
Lalu apakah perlu di amanatkan, saya tidak tahu apakah amanat itu di RUU KUHP atau di UUJN, baiknya saya sih dalam kapasitas saya bertanya,(bukan berpendapat lho ya) ada semacam Lembaga Perlindungan Notaris atau sebut saja semacam Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) untuk melindungi Notaris dari intimidasi,tekanan,ancaman dari pihak-pihak yang tidak bertanggungjawab.
Artanto menyimpulkan, intinya bahwa UUJN itu merupakan Lex Spesialis sedangkan RUU KUHP itu merupakan Lex Generasilis dan terhadap keduanya perlu dilakukan sinkronisasi sehingga tujuan daripada Perlindungan Profesi Notaris ini sungguh-sungguh tercapai.
Selanjutnya saya berharap para pakar cendekiawan Notaris atau ‘ilmuwan Notaris” jangan tinggal diam karena ini penting agar RUU KUHP itu merupakan wujud dari Profesi agar rekan-rekan Notaris itu merasa tenang,aman dan nyaman dalam menjalankan tugas dan jabatgannya. Karena bagaimanapun berbicara mengenai RUU KUHP kita masih “Wait and See”.
*Berkenaan Dengan Pembahasan Soal Mafia Tanah Yang Belakangan Meresahkan Profesi Jabatan PPAT*
Sedangkan dalam kaitan wawancaranya berkaitan dengan topik “Soal Mafia Tanah Yang Belakangan Ini melibatkan Oknum Orang dalam BPN dan menyeret-nyeret profesi PPAT ke pusaran hukum”.Stefanus Artanto,SH menyatakan, jika berbicara soal kejahatan Mafia Tanah, terus terang saya sangat –sangat mendukung dengan langkah Operasi Tangkap Tangan (OTT) yang dilakukan Kementerian ATR/BPN bersama Satgas tim terkait dalam usaha dengan cara-cara pembasmian,pendobrakan, dan penangkapan pelaku oknum Mafia Tanah itu.
“Saya sangat mendukung pembasmian oknum pelaku kejahatan praktik-praktik mafia tanah tanpa bermaksud untuk mencari kambing hitam terhadap si pelaku-pelakunya”,tegasnya.
Tetapi ujar Artanto,mungkin yang banyak diharapkan oleh masyarakat yaitu jalannya Standar Operasional Prosedur (SOP) dengan mekanisme yang benar dan terukur dari pihak Kementerian ATR/BPN, sebut saja pekerjaan yang ‘sepele’.
Apakah itu pekerjaan yang bersifat ‘sepele’ tadi? Artantomenjawab yaitu :Ploting, cek bukutanah, cek sertipikat itu bisa berlama-mala. Lalu usul lagi terkait Pendaftaran Persyaratan Hak,selama ini bukti pembayaran pajak baik PPH maupun BPHTB,khususnya PPH final itu harus divalidasi dulu oleh KPP Pratama. Yang memakan waktu paling tidak 14 hari.
Bagaimana kalau BPN itu mempercayai Faktur PPH Final yang sudah dilakukan validasi atau pengesahan oleh Bank Persepsi atau Kantos Pos.
Selanjutnya menjadi harapan dari Artanto, agar pelaksanaan SOP di BPN sudah mendekati pelaksanaan sebagaimana yang diamanatkan dalam Permen ATR/Kepala BPN RI No.16 Tahun 2021 tentang Perubahan atas Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala BPN RI Nomor 3 Tahun 1997 tentang Ketentuan Pelaksanaan peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah, karena pekerjaan-pekerjaan awal itu malah menjadi penghambat,contohnya : Ploting,Penentuan Zona Nilai Tanah (ZNT),roya dan pengecekan buku tanah.
Terakhir Stefanus Artanto juga berharap, agar pembayaran pajak-pajak sebagai kelengkapan Pendaftaran peralihan Hak tidak usah tidak usah menunggu validasi dari KPP Pratama,toh faktur-faktur itu aslinya juga sudah dilampirkan dalam dokumen Pendaftaran peralihan Hak dan disitu ada cap basah dari Bank Persepsi atau dari Kantor Pos. Validasi dari KPP Pratama nanti serahkan bersamaan dengan pengambilan sertipikat yang sudah jadi sebagamana persyaratan kepersetaan kartu BPJS selama ini. (ars/yan/red)